Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Hidangan Natal dan Tahun Baru.
ilustrasi hidangan Natal dan Tahun Baru (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Pola liburan mengacaukan hormon lapar–kenyang, terutama grelin dan leptin.

  • Stres, emosi, dan kelelahan mental membuat otak lebih sulit mengenali rasa cukup.

  • Kondisi ini bisa memperburuk GERD, gula darah, dan suasana hati tanpa disadari.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saat masa liburan, biasanya jam makan berubah, camilan selalu tersedia, dan meja makan rasanya tak pernah kehabisan makanan. Menikmati makanan pun kerap diwarnai obrolan panjang, bahkan sampai larut malam. Tubuh memang ikut larut suasana, tetapi sistem biologis tidak selalu siap mengikutinya.

Banyak orang merasa aneh karena meski sudah makan, rasa lapar muncul lagi tak lama kemudian. Sensasinya bukan lapar fisik yang jelas, melainkan dorongan untuk kembali mengambil makanan. Kondisi ini sering dilabeli sebagai "kalap", tetapi faktanya ada proses hormonal dan neurologis yang bekerja di baliknya.

Liburan adalah periode perubahan besar, seperti kurang tidur, aktivitas tidur berkurang, paparan stres sosial meningkat, dan emosi naik turun. Kombinasi ini dapat memengaruhi cara otak membaca sinyal kenyang, lapar, dan kepuasan makan, membuat tubuh terasa seperti tidak pernah benar-benar cukup.

Gangguan pada hormon grelin dan leptin

Rasa lapar dan kenyang diatur oleh dua hormon utama, yaitu grelin dan leptin.

Grelin meningkat saat tubuh membutuhkan energi dan memberi sinyal lapar, sementara leptin memberi tahu otak bahwa cadangan energi sudah cukup. Dalam kondisi normal, keduanya bekerja seimbang mengikuti ritme tidur, makan, dan aktivitas harian.

Masalah muncul saat ritme tersebut terganggu. Penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur dan jam tidur yang tidak teratur, situasi yang umum saat liburan, meningkatkan kadar grelin dan menurunkan sensitivitas leptin. Akibatnya, otak terus menerima sinyal lapar meski tubuh sebenarnya sudah kenyang.

Selain itu, konsumsi makanan tinggi lemak dan gula yang sering terjadi saat liburan dapat memperburuk resistensi leptin. Studi menunjukkan bahwa pola makan tinggi energi dalam waktu singkat dapat menurunkan kemampuan otak merespons sinyal kenyang. Tubuh pun terdorong untuk makan lebih sering, bukan karena butuh, tetapi karena sinyalnya kacau.

Stres, emosi, dan nafsu makan

ilustrasi hidangan Natal dan Tahun Baru (pexels.com/Tim Douglas)

Liburan sering dikaitkan dengan kebahagiaan, tetapi secara psikologis juga membawa tekanan tersendiri seperti ekspektasi sosial, kelelahan emosional, urusan keluarga, hingga beban finansial. Stres kronis ringan seperti ini meningkatkan hormon kortisol, yang diketahui dapat meningkatkan nafsu makan, terutama terhadap makanan tinggi kalori.

Otak juga cenderung mencari makanan sebagai sumber kenyamanan emosional. Saat lelah mental, area otak yang mengatur pengambilan keputusan melemah, sementara sistem reward menjadi lebih dominan. Inilah sebabnya makan terasa “tidak memuaskan”, sehingga keinginan makan terus berulang meski perut sudah penuh.

Dalam konteks ini, makan bukan lagi soal mengisi energi, tetapi cara tubuh meredam ketegangan. Tanpa disadari, pola ini membuat sinyal lapar dan kenyang makin sulit dibedakan, terutama jika berlangsung selama beberapa hari liburan berturut-turut.

Dampaknya ke GERD, gula darah, dan suasana hati

Makan berlebihan dan sering, terutama pada malam hari, meningkatkan risiko refluks asam lambung. Lambung yang terus terisi dan tekanan intraabdomen yang meningkat membuat gejala GERD lebih mudah kambuh. Pola makan tidak teratur dan porsi besar berkaitan dengan peningkatan frekuensi heartburn.

Lonjakan asupan karbohidrat sederhana juga memicu fluktuasi gula darah. Kadar gula yang naik-turun tajam dapat memengaruhi energi dan suasana hati, membuat tubuh terasa cepat lelah, mudah marah, atau sulit fokus. Penelitian menunjukkan hubungan erat antara instabilitas gula darah dan perubahan suasana hati, termasuk kecemasan ringan.

Dalam jangka pendek, kondisi ini sering dianggap wajar karena “efek liburan”. Namun, bagi sebagian orang—terutama yang memiliki GERD, prediabetes, atau sensitivitas emosional—kekacauan sinyal makan ini bisa terasa sangat mengganggu dan melelahkan.

Tubuh berusaha beradaptasi dengan perubahan cepat yang terjadi dalam waktu singkat. Terus merasa lapar padahal kamu tidak kurang makan bisa menjadi sinyal bahwa sistem biologis sedang bekerja keras menyesuaikan diri. Menyadari bahwa nafsu makan dipengaruhi hormon, emosi, dan ritme hidup dapat membantu kamu bersikap lebih lembut pada diri sendiri, dan kembali ke pola makan dan pola hidup seimbang setelah liburan berlalu.

Referensi

Spiegel, Karine, et al. “Brief Communication: Sleep Curtailment in Healthy Young Men Is Associated with Decreased Leptin Levels, Elevated Ghrelin Levels, and Increased Hunger and Appetite.” Annals of Internal Medicine 141, no. 11 (2004): 846–50.

Blundell, John E., et al. “Appetite Control and Energy Balance: Impact of Exercise.” American Journal of Clinical Nutrition 84, no. 1 (2006): 10–15.

Adam, Tanja C., and Epel, Elissa S. “Stress, Eating and the Reward System.” Physiology & Behavior 91, no. 4 (2007): 449–58.

Volkow, Nora D., et al. “Obesity and Addiction: Neurobiological Overlaps.” Obesity Reviews 14, no. 1 (2013): 2–18.

Katz, Philip O., et al. “Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease.” American Journal of Gastroenterology 108, no. 3 (2013): 308–28.

Lustman, Patrick J., et al. “Depression and Poor Glycemic Control: A Meta-Analytic Review.” Diabetes Care 23, no. 7 (2000): 934–42.

Editorial Team