Kepada IDN Times, Dr. Andani menjelaskan seputar dinamika SARS-CoV-2. Pada hari pertama dan kedua, jumlah virus mungkin rendah, dan pada hari ke-3, ke-4, dan ke-5, jumlah virus memuncak. Lalu, pada hari ke-9 hingga hari ke-14, jumlah virus akan terus menurun.
Jika dihubungkan dengan CT value, pada waktu jumlah virus tinggi, maka CT value rendah, dan sebaliknya. Jadi, apakah CT value berbanding lurus dengan keparahan COVID-19? Ternyata, tidak!
"Ada pasien COVID-19 dengan CT value 12 pun tidak bergejala, dan pasien-pasien dengan kondisi terminal dengan jumlah virus yang rendah malah kondisinya makin berat. Apa yang menentukan keparahan pasien? Respons tubuh terhadap SARS-CoV-2, bukan jumlah virus," kata Dr. Andani.
Selain komorbiditas dan status vaksinasi, Dr. Andani mengatakan bahwa kasus kematian akibat COVID-19 bukanlah murni karena infeksi SARS-CoV-2, melainkan respons imun yang berlebihan. Inilah yang sering disebut badai sitokin, sehingga butuh pengobatan untuk mengurangi respons imun tubuh yang berlebihan tersebut.
“Berat (gejala) lebih tergantung pada respons imun tubuh,” imbuh Dr. Anjani.
Meskipun tidak bisa menunjukkan keparahan, tetapi Prof. Jusak mengatakan bahwa menurut berbagai studi, setidaknya tinggi atau rendahnya CT value juga bisa digunakan untuk melihat potensi penularan.
"Menurut penelitian, jika CT value tinggi, ditemukan tidak tumbuh dalam kultur sehingga dianggap tidak menular," terangnya.
Senada dengan Prof. Jusak, Dr. Andani mengatakan bahwa CT value rendah menandakan tingginya risiko penularan.
ilustrasi isolasi mandiri (clevelandclinic.org)