ilustrasi perempuan dan wanita yang sedang berdebat (freepik.com/shurkin_son)
Kalau dikelompokkan, pola pikir negatif memiliki 10 jenis. Mungkin kamu pernah menemukan kasusnya dalam keseharian, atau bahkan mungkin mengalaminya sendiri. Berikut jenis-jenis distorsi kognitif yang perlu kamu ketahui:
Polarize thinking (all-or-nothing thinking)
Jenis pemikiran yang terpolarisasi ini berfokus pada hitam dan putih akan suatu hal, seperti baik atau buruk, berhasil atau gagal, segalanya atau tidak sama sekali. Orang dengan pola pikir ini cenderung sulit untuk melihat sisi abu-abu dari suatu hal.
Contohnya adalah ketika seseorang meyakini kalau temannya merupakan orang yang jahat dan buruk dari segala aspek. Atau ketika seorang siswa merasa suatu mata pelajaran terlalu sulit baginya, sehingga dirinya meyakini bahwa ia tidak akan bisa lulus ujian.
Overgeneralization
Jenis ini terjadi ketika seseorang mengeneralisasi suatu kejadian secara berlebihan. Misalnya Si A meyakini setiap ia keluar rumah dengan baju kuning, maka akan turun hujan. Padahal, hal ini hanya pernah terjadi secara kebetulan sebanyak satu atau dua kali saja.
Pemikiran seperti ini cenderung berujung pada gangguan trauma (PTSD) dan gangguan kecemasan lain. Sebab seseorang merasa takut kalau kejadian tidak mengenakkan akan terulang kembali jika ia melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
Catastrophizing
Orang dengan distorsi kognitif jenis catastrophizing memiliki ketakutan berlebih atau memiliki asumsi terburuk terhadap hal yang belum tentu terjadi. Misalnya saja ketika seorang perempuan menunggu pesan dari kekasihnya yang telah berhari-hari tak memberi kabar. Dalam kasus ini, perempuan tersebut akan merasa takut kalau sesuatu yang buruk telah menimpa kekasihnya, sebab itu juga akan mengancam impian dan masa depan mereka berdua.
Personalization
Bias pikiran yang satu ini termasuk yang paling umum dialami ketika seseorang mempersonalisasi atau menganggap terjadinya suatu hal berkaitan dengan dirinya. Contohnya ketika kamu merasa tersinggung karena beranggapan kalau orang-orang di sekitar sedang menjauhimu. Begitu juga ketika kamu merasa sedang menjadi bahan omongan, padahal kenyataannya itu hanya asumsi yang ada di kepalamu saja.
Mind reading
Suka melakukan mind reading atau membaca pikiran orang lain juga termasuk dalam distorsi kognitif. Berbeda dengan berempati, yaitu sikap untuk berusaha memahami perasaan orang lain, mind reading akibat distorsi biasanya dilakukan atas dasar kecurigaan. Contohnya, ketika seseorang menganggap sumbangan yang diberikan oleh orang lain dilakukan bukan atas dasar kepedulian atau keprihatinan, melainkan karena ingin dilihat orang lain.
Mental filtering
Orang yang tergolong jenis ini cenderung menyaring hal-hal positif dan fokus pada hal negatif. Pola pikir ini bisa memengaruhi kesehatan mental dengan memperburuk anxiety atau memicu depresi hingga bunuh diri.
Misalnya, Si D merasa tersakiti oleh perlakuan atau perkataan negatif yang dilontarkan teman-temannya secara tidak sengaja. Dengan pola pikir ini, ia akan lebih memikirkan hal negatif tersebut secara mendalam daripada kesenangan yang dirasakan pada hari itu.
Discounting the positive
Kalau mental filtering dilakukan dengan mengabaikan atau “tidak melirik” hal positif. Orang dengan pola pikir yang satu ini justru menyadari adanya hal positif, tetapi pikirannya cenderung menolak hal tersebut.
Misalnya ketika seseorang mendapatkan penghargaan atas usaha dan kerja kerasnya selama bekerja, ia akan menganggap pencapaiannya itu hanya kebetulan saja. Kejadian ini biasanya diiringi dengan ketidakyakinan kalau dirinya mampu dan kompeten, sehingga pola pikir ini bisa menghilangkan motivasi seseorang untuk berkembang.
“Should” statements
Distorsi kognitif yang satu ini terjadi ketika seseorang selalu memikirkan apa yang harus dikatakan atau dilakukan. Hal ini bisa menyebabkan anxiety yang berlebih, terutama ketika kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Sebagai contoh, seorang siswa merasa harus melakukan presentasi dengan baik. Namun sayangnya, presentasinya menjadi kacau karena ia lupa apa yang harus disampaikan. Kejadian ini akan membuatnya merasa kecewa, dan bisa jadi akan terus memikirkan kalimat seperti, “Seandainya saya melakukan ini”, “Seharusnya tidak begitu”, dan sebagainya.
Emotional reasoning
Emotional reasoning merupakan penilaian situasi yang dilakukan berdasarkan emosi pribadi. Misalnya, Jenna yang sedang merasakan perasaan negatif langsung menyimpulkan kalau dirinya merupakan orang yang menyedihkan dan tidak berguna.
Sama seperti jenis distorsi kognitif lain, emotional reasoning juga termasuk faktor yang mendukung seseorang mengalami depresi dan anxiety apabila terlalu larut dalam pemikiran tersebut.
Labeling
Menilai buruk diri sendiri atau orang lain berdasarkan satu kejadian atau interaksi tertentu termasuk ke dalam tindakan labeling. Pemikiran ini biasanya akan terus dimiliki meskipun interaksi yang dialami sudah lama terjadi.
Contohnya ketika kamu bertemu seorang public figure di tempat umum, dan merasa mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Meskipun hanya terjadi satu kali secara kebetulan, dengan labeling, kamu akan dengan mudah menilai bahwa public figure tersebut merupakan orang yang sombong dan tidak sopan.