Penelitian dari tim Universitas Michigan, Amerika Serikat, menggabungkan uji laboratorium, model hewan, dan jaringan pankreas manusia. Fokus mereka adalah sekelompok bahan kimia dalam asap rokok yang disebut aryl hydrocarbon receptor ligands (AhRLs), yang termasuk karsinogen berbahaya seperti dioksin.
Dalam percobaan, tikus yang dipaparkan ekstrak asap rokok atau 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin/TCDD (jenis AhR ligand yang sangat kuat) menunjukkan pertumbuhan tumor pankreas yang lebih cepat. Menariknya, hal ini hanya terjadi bila sistem imun tikus masih utuh. Artinya, bahan kimia rokok tidak secara langsung menyerang sel kanker, melainkan mengubah cara kerja sistem imun.
Kuncinya ada pada reseptor AhR pada sel T CD4+. Saat teraktivasi, sel-sel ini meningkatkan produksi molekul IL-22 dan memperbanyak jumlah Treg (regulatory T cells). Normalnya, Treg menjaga sistem imun agar tidak terlalu agresif. Namun, dalam konteks ini, Treg justru menghambat sel T CD8+, yang seharusnya bertugas membunuh sel kanker. Hasilnya, sistem imun tidak lagi melawan, melainkan memberi ruang bagi tumor untuk tumbuh.
Lebih jauh, paparan TCDD juga memicu perubahan prakanker pada pankreas. Jaringan pankreas manusia dari perokok memperlihatkan hal serupa: aktivasi jalur AhR lebih tinggi dan jumlah Treg lebih banyak, sebanding dengan riwayat merokok pasien.
Temuan ini membuka peluang pendekatan terapi baru, misalnya dengan memblokir aktivasi AhR atau mengurangi efek supresif dari Treg agar sistem imun kembali bisa melawan kanker. Namun, bukti saat ini masih berasal dari laboratorium, hewan, dan jaringan manusia, sehingga perlu penelitian klinis lebih lanjut sebelum bisa diadopsi dalam praktik medis.