Penelitian ini sekaligus menjadi bukti pendukung dari sebuah studi sebelumnya yang dilakukan di Jerman pada April 2020. Dimuat dalam jurnal Science of The Total Environment, studi ini menemukan bahwa paparan NO2 jangka panjang berbanding lurus dengan insiden COVID-19 yang frekuen dan tingkat kematian yang lebih tinggi.
"Paparan polusi udara bisa menyebabkan kondisi lainnya, termasuk serangan jantung, stroke, asma, dan kanker paru-paru, serta bisa terus merugikan kesehatan bahkan setelah pandemik COVID-19 selesai," tutur Dr. Susanne.
NO2 umumnya dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, terutama oleh kendaraan. Paparan jangka panjang NO2 bisa berakibat buruk untuk paru-paru karena merusak sel endotel, sel yang berperan dalam memindahkan oksigen dari udara ke darah.
ilustrasi panel surya sebagai energi terbarukan (unsplash.com/American Public Power Association)
Saat ditanya mengenai kekurangan penelitian ini, Dr. Susanne mengatakan bahwa penelitian ini sejatinya tidak membuktikan hubungan sebab-akibat antara paparan polusi udara dan keparahan COVID-19. Meski begitu, studi ini memiliki implikasi tersendiri untuk lingkungan.
Selain COVID-19, bukan rahasia kalau polusi udara berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat dunia. Meski Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merevisi standar kualitas udaranya pada 2021 silam, masih banyak negara dunia yang belum menaatinya. Jika tidak segera, maka kesehatan masyarakatlah yang terkena imbasnya.
"Transisi ke energi terbarukan, transportasi hijau, dan agrikultura berkelanjutan amat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas udara. Mengurangi emisi bukan hanya soal krisis iklim, melainkan juga meningkatkan kesehatan dan taraf hidup masyarakat dunia," tanda Dr. Susanne.