Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gambar mikroskop elektron pemindaian menunjukkan sel T regulator (warna merah) yang berinteraksi dengan sel penyaji antigen (antigen-presenting cells, warna biru).
Gambar mikroskop elektron pemindaian menunjukkan sel T regulator (warna merah) yang berinteraksi dengan sel penyaji antigen (antigen-presenting cells, warna biru). (unsplash.com/National Institute of Allergy and Infectious Diseases)

Intinya sih...

  • Tiga ilmuwan meraih Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2025 atas penemuan sel T regulator yang berfungsi sebagai "penjaga keamanan" sistem imun.

  • Sel T regulator mencegah autoimunitas dan membuka cakrawala baru dalam imunologi, mengendalikan penyakit peradangan, penolakan transplantasi, terapi kanker, dan vaksin.

  • Penemuan ini penting untuk memahami cara mencegah dan mengobati penyakit autoimun serta menunjukkan bahwa kekebalan dan peradangan diatur secara aktif.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tiga ilmuwan dianugerahi Penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran (Nobel Prize in Physiology or Medicine) 2025 atas penemuan mereka tentang bagaimana tubuh mencegah sistem kekebalan menyerang dirinya sendiri.

Shimon Sakaguchi dari Universitas Osaka di Jepang, Mary E. Brunkow dari Institute for System Biology, dan Fred Ramsdell dari Sonoma Biotherapeutics di Amerika Serikat, berhasil mengidentifikasi sel khusus yang berfungsi seperti “penjaga keamanan” (security guard) untuk menjaga sistem imun tetap terkendali. Penemuan ini sangat penting dalam memahami cara mencegah dan mengobati penyakit autoimun. Ketiganya akan berbagi hadiah sebesar 11 juta Krona Swedia (sekitar USD 1,17 juta atau Rp17,8 miliar).

Sistem kekebalan yang efektif sangatlah penting. Ia membentuk jaringan tubuh saat tumbuh, membersihkan sel-sel tua dan sisa-sisa sel, serta menghancurkan virus, bakteri, dan jamur berbahaya sehingga tubuh tetap sehat. Namun, sistem imun menghadapi tantangan rumit. Setiap hari sistem imun harus menyerang ribuan mikroba asing, banyak di antaranya berevolusi hingga sangat mirip dengan sel tubuh manusia sendiri, tetapi sistem imun tidak boleh keliru menyerang jaringan tubuh sendiri.

Pertanyaan tentang bagaimana sistem imun tahu sel mana yang harus diserang dan mana yang harus dilindungi telah dipelajari selama puluhan tahun. Terobosan dari para peraih Nobel tahun ini mengungkap adanya sel imun khusus yang disebut sel T regulator (regulatory T cells), yang berfungsi mencegah sel imun menyerang tubuh sendiri dan memastikan sistem kekebalan bekerja sebagaimana mestinya.

Peran sel T regulator dalam mencegah autoimunitas

Selama beberapa dekade, para imunolog tidak yakin mengapa sebagian sel imun bekerja normal, sementara sebagian lain justru menyerang jaringan tubuh sendiri. Kondisi ini dapat memicu penyakit autoimun seperti diabetes tipe 1, artritis reumatoid, dan multiple sclerosis.

Dulu, para ilmuwan percaya bahwa kelenjar timus (organ kecil di dada) sepenuhnya bertanggung jawab atas toleransi imun. Sel imun (khususnya limfosit T) yang terlalu kuat mengenali protein tubuh diyakini akan dieliminasi di timus sejak awal kehidupan. Sementara sel imun yang hanya bereaksi ringan dilepaskan ke aliran darah untuk berpatroli.

Namun, penelitian Sakaguchi pada tahun 1980–1990-an menunjukkan adanya kelas khusus sel T yang berperan penting menekan respons imun dan mencegah sistem imun menyerang jaringan tubuh. Dalam eksperimen pertamanya, Sakaguchi mengangkat timus dari anak tikus, lalu menyuntikkan sel T dari tikus lain yang secara genetik mirip. Ia menduga tikus tersebut akan memiliki sistem imun lemah. Sebaliknya, ia menemukan adanya sel T yang justru melindungi tikus dari penyakit autoimun.

Pada 1995, Sakaguchi menerbitkan makalah yang menjelaskan kelas baru sel T, yaitu sel T regulator, yang membawa protein khusus di permukaannya dan mampu menekan sel T berbahaya. Awalnya, banyak ilmuwan meragukan keberadaan sel ini. Namun, penelitian Brunkow dan Ramsdell pada tahun 1990-an hingga awal 2000-an membuktikan cara kerja sel T regulator, yaitu mencegah serangan sel imun dengan melepaskan protein penekan atau memberi sinyal antiinflamasi/antiperadangan langsung.

Keduanya juga menemukan protein penanda khusus bernama FoxP3, yang memungkinkan ilmuwan mengidentifikasi dan mengisolasi sel T regulator untuk diteliti lebih lanjut. Penemuan ini menegaskan betapa pentingnya sel T regulator dalam mengendalikan sel imun peradangan lain di tubuh.

Karya para peraih Nobel tahun ini tidak hanya menjelaskan toleransi imun, tetapi juga membuka cakrawala baru dalam imunologi. Penelitian mereka menunjukkan bahwa kekebalan dan peradangan diatur secara aktif, serta melahirkan banyak ide baru untuk mengendalikan penyakit peradangan akibat infeksi, alergen, polusi lingkungan, maupun autoimunitas. Bahkan, temuan ini memberi wawasan baru untuk mencegah penolakan transplantasi, sekaligus meningkatkan efektivitas terapi kanker dan vaksin.

Editorial Team