Pandemi resistansi antimikroba, menurut Prof. Dr. apt Ika Puspitasari, S.Si, M,Si, sebenarnya sudah terjadi di Indonesia dan berlangsung lama.
Untuk polanya sendiri, ulkus diabetikum (kondisi ketika kaki mengalami luka disertai dengan keluarnya cairan nanah yang berbau tidak sedap) sudah di atas 80 persen yang termasuk gram-negatif (mikroorganisme penyebab tersering yang dapat membentuk biofilm sehingga sering menyebabkan resistansi antibiotik), sama seperti India. Padahal, di negara Asia lainnya, ini masih termasuk gram-positif.
"Jadi kita ini sekarang kesulitan sekali, ya. Yang jamur pun juga sama, banyak yang sudah mulai resistan," ujar Prof. Ika kepada IDN Times.
Apabila seseorang sudah mengalami resistansi antibiotik pada level yang sulit diatasi, maka akan didatangkan antibiotik dari negara lain.
Misalnya, ketika ada individu yang sudah tidak bisa menggunakan antijamur fluconazole, maka harus didatangkan dari Singapura dengan akses khusus. Indonesia sendiri tidak memilikinya.
"Kita harus datangkan (antibiotik) yang sudah kelas berat dari negara lain. Jadi sebenarnya sudah mulai merasakan pandemi resistansi mikroba. Harganya sekitar Rp 1 juta per injeksi. Sehari bisa 3 kali, minimal 7 sampai 14 hari. Jadi mahal banget kalau itu mau dijalankan," jelasnya.
Jadi, bisa dikatakan pandemi yang satu ini punya beban biaya yang mahal, sulit dicari, membahayakan jiwa, ditambah gen resistan yang bisa ditularkan ke orang-orang di sekitar.
Bahkan, menurutnya pandemi di Tanah Air bukan hanya bakteri yang kebal, tetapi banyak juga jamur yang sudah mulai resistan. Peneliti lain menemukan bahwa jamur dengan bakteri telah membuat pertahanan yang sulit ditembus.
Dia menemukan data tanah dan air dari peternakan juga mengandung residu tersebut, sehingga tata kelola antibiotik harus dilakukan multistakeholder. Pasalnya, hewan juga diberikan obat tersebut, yang mana residunya bisa terkontaminasi dengan makanan yang dikonsumsi manusia.
Prof. Ika kemudian menjelaskan bahwa residu antibiotik yang ditemukan pada telur maupun daging serta ikan, meski sudah dimasak, tidak akan hilang. Jadi, ada individu yang tanpa sadar sudah mengonsumsi antibiotik dengan dosis rendah, kemudian menjadi resistan pada tubuh.
"Sehingga harus multisektor, bukan kita nyalahin sektor yang lain, tetapi mestinya sama-sama sebagai konsep 'One Health' seperti yang dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," papar Prof. Ika.