Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi keluarga bahagia (pexels.com/21zere)
ilustrasi keluarga bahagia (pexels.com/21zere)

Intinya sih...

  • Studi terbaru menemukan bahwa perempuan punya peran dalam menentukan jenis kelamin anak.

  • Menurut studi ini, usia dan genetik berpengaruh pada rasio jenis kelamin anak, jadi tidak sepenuhnya acak.

  • Menariknya lagi, makin banyak jumlah anak, makin sering keluarga punya anak dengan jenis kelamin yang sama.

Selama ini banyak orang mengira peluang punya anak laki-laki atau perempuan seperti hasil undian: sebagian besar sperma membawa kromosom X atau Y, sehingga peluang punya bayi laki-laki atau perempuan kira-kira sama besar, yaitu satu banding dua. Namun, sebuah studi baru dari Harvard T.H. Chan School of Public Health menunjukkan tubuh perempuan juga punya peran.

Studi ini mencari tahu kenapa bisa ada keluarga yang anak-anaknya laki-laki semua atau perempuan semua, atau anak-anaknya dominan perempuan maupun laki-laki, dan para peneliti bertanya-tanya apakah fenomena tersebut hanya kebetulan atau ada faktor biologis yang memengaruhi.

Para peneliti menemukan bahwa beberapa ibu mungkin secara biologis memang cenderung melahirkan anak dengan jenis kelamin tertentu, dengan efek yang tampaknya meningkat seiring dengan usia kehamilan pertama dan jumlah anak yang mereka miliki.

Penelitian ini menambah bukti bahwa peluang penentuan jenis kelamin memang bisa tidak sepenuhnya acak, kata Jianzhi Zhang, ahli genetika dari Universitas Michigan yang juga pernah meneliti fenomena serupa, mengutip dari laman American Association for the Advancement of Science. Meski begitu, studi ini hanya meneliti kelompok ibu yang jumlahnya relatif kecil dan cakupan lokasinya terbatas.

Faktor usia, gen, dan pilihan budaya ikut berperan

Penelitian ini menggunakan data dari Nurses’ Health Study, sebuah program riset jangka panjang di Amerika Serikat yang mempelajari faktor risiko penyakit kronis pada perempuan. Tim peneliti menganalisis data 58.007 perempuan yang punya dua anak atau lebih, dengan total 146.064 kelahiran hidup dari tahun 1956 hingga 2015. Hasilnya, rasio jenis kelamin anak berbeda dari rasio acak pada umumnya. Ini menunjukkan bahwa beberapa perempuan mungkin secara biologis memang cenderung melahirkan anak dengan jenis kelamin tertentu.

Terlepas dari berapa jumlah anak akhirnya, perempuan yang melahirkan anak pertama di atas usia 28 tahun memiliki peluang 13 persen lebih besar untuk hanya punya anak laki-laki semua atau perempuan semua, dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan anak pertama di bawah usia 23 tahun.

Para peneliti juga menganalisis genom lebih dari 7.000 perempuan dalam Nurses’ Health Study tersebut. Hasilnya, perempuan yang punya semua anak perempuan cenderung memiliki variasi gen tertentu pada gen NSUN6 di kromosom 10, sementara perempuan yang hanya punya anak laki-laki cenderung punya variasi gen tertentu pada gen TSHZ1 di kromosom 18. Meski begitu, kedua gen ini sebenarnya tidak dikenal berperan langsung pada reproduksi. NSUN6 berhubungan dengan pembentukan protein, sedangkan TSHZ1 diduga terkait indra penciuman.

Temuan ini sejalan dengan riset Zhang sebelumnya. Pada 2024, tim Zhang menggunakan data UK Biobank dan menemukan satu gen di kromosom 10 yang terlibat dalam pembentukan sperma dan pembuahan. Mutasi di satu titik pada gen ini terkait dengan peningkatan peluang 10 persen melahirkan anak perempuan. Namun, Zhang mengingatkan bahwa hasil risetnya maupun studi terbaru ini harus dibaca dengan hati-hati karena sebagian besar peserta berasal dari keturunan Eropa. Artinya, temuan ini mungkin belum mewakili keragaman genetik global sepenuhnya.

Selain faktor genetik, keputusan punya anak juga dipengaruhi budaya. Misalnya, ada keluarga yang memilih berhenti punya anak kalau sudah punya anak perempuan dan laki-laki. Penulis studi ini mencoba memperhitungkan faktor perilaku tersebut dengan menghapus anak terakhir dari analisis. Meski begitu, hasilnya tetap menunjukkan perbedaan. Pada keluarga dengan dua anak, hampir 53 persen punya satu anak laki-laki dan satu anak perempuan—angka ini lebih tinggi dari yang diperkirakan kalau benar-benar acak.

Menariknya lagi, makin banyak jumlah anak, makin sering keluarga punya anak dengan jenis kelamin yang sama. Ini mungkin menunjukkan ada keluarga yang terus mencoba sampai punya anak dengan jenis kelamin berbeda. Contohnya, keluarga dengan tiga anak laki-laki punya peluang 61 persen untuk anak berikutnya juga laki-laki, sedangkan keluarga dengan tiga anak perempuan punya peluang 58 persen untuk anak berikutnya juga perempuan.

Zhang menambahkan, salah satu tantangan terbesar dalam mempelajari fenomena ini adalah ukuran keluarga yang terbatas, sehingga sulit mendeteksi variasi genetik yang memengaruhi rasio jenis kelamin anak. Meski begitu, ia optimistis penelitian di masa depan akan makin berkembang berkat bertambahnya data genetik dari biobank di seluruh dunia.

“Dengan semakin banyaknya biobank, variasi genetik yang memengaruhi rasio jenis kelamin manusia sejak lahir mungkin akan lebih banyak ditemukan,” ujarnya.

Para ahli sepakat bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk benar-benar memahami bagaimana faktor biologis, perilaku, dan lingkungan memengaruhi peluang punya anak laki-laki atau perempuan.

Referensi

Siwen Wang et al. "Is sex at birth a biological coin toss? Insights from a longitudinal and GWAS analysis." Sci. Adv. 11, eadu7402(2025). DOI:10.1126/sciadv.adu7402.

Siliang Song and Jianzhi Zhang, “In Search of the Genetic Variants of Human Sex Ratio at Birth: Was Fisher Wrong About Sex Ratio Evolution?,” Proceedings of the Royal Society B Biological Sciences 291, no. 2033 (October 1, 2024), https://doi.org/10.1098/rspb.2024.1876.

"Why do some moms have more boys than girls—or vice versa? New study provides clues." American Association for the Advancement of Science. Diakses Juli 2025.

Editorial Team