ilustrasi pasangan yang bertengkar (unsplash.com/Afif Kusuma)
Dari penelitian ini, salah satu kelebihannya adalah sampel partisipan yang besar. Data dari Copenhagen Aging dan Midlife Biobank berjalan selama sekitar 26 tahun, yaitu dari 1986 hingga 2021.
Namun, para peneliti juga mencatatkan beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut, yaitu:
- Bias seleksi: Beberapa partisipan yang tidak menyelesaikan kuesioner atau mengikuti tes darah mungkin merepresentasikan kelompok dengan riwayat perceraian atau putus cinta yang lebih frekuen.
- Konsekuensi maksimal yang tak tercatat jelas: Usia rata-rata partisipan hanya 54,5 tahun.
- Faktor berat badan: Para partisipan laki-laki memiliki indeks massa tubuh (BMI) yang lebih besar dari perempuan, faktor yang bisa meningkatkan inflamasi sistemik di luar faktor putus cinta atau perceraian dan hidup sendiri.
ilustrasi putus cinta (pexels.com/Vera Arsic)
Selanjutnya, Prof. Lund mengatakan bahwa penelitian selanjutnya akan berfokus pada bagaimana faktor memiliki anak bisa memengaruhi hubungan antara perceraian atau putus cinta dan inflamasi. Sementara buah hati bisa menjadi harapan untuk kesehatan mental dan fisik, apakah hal tersebut berlaku jika bahtera rumah tangga sudah karam?
"Hal ini mungkin berlaku jika ada kontak positif antara anak dan orang tua tunggal. Namun, ada potensi bahwa memiliki anak malah memperparah efek negatif dari perceraian atau malah anak-anak menjadi bagian dari konflik," ujar Prof. Lund kepada Medical News Today.
Selain itu, ia juga berharap studi selanjutnya bisa merekrut lebih banyak partisipan perempuan. Dengan begitu, koneksi inflamasi pada perempuan yang mengalami putus cinta atau perceraian atau hidup sendiri bisa tersingkap lebih jelas.