ilustrasi sistem imun tubuh (pixabay.com/Bruno /Germany)
Secara historis, perempuan memiliki respons kekebalan yang lebih kuat terhadap vaksin, dan para ahli mengatakan itulah alasan yang paling mungkin untuk efek samping mereka yang lebih intens. Ini menandakan sistem kekebalan tubuh perempuan dalam merespons vaksin, dan itu adalah hal yang positif.
Beberapa penelitian telah membuktikan kalau perempuan dan anak perempuan menghasilkan lebih banyak antibodi penangkal infeksi daripada laki-laki saat mereka mendapatkan vaksinasi untuk influenza, demam kuning, rabies, hepatitis A dan B, dan MMR (campak, gondok, dan rubela).
Respons imun perempuan yang lebih kuat juga menjadi alasan mengapa perempuan umumnya lebih baik dalam melawan infeksi seperti sepsis, pneumonia, dan sekarang COVID-19.
Studi berjudul "Male sex identified by global COVID-19 meta-analysis as a risk factor for death and ITU admission" dalam jurnal Nature Communications tahun 2020 menunjukkan bahwa laki-laki yang terkena COVID-19 hampir tiga kali lebih mungkin memerlukan perawatan intensif daripada perempuan, dan laki-laki juga lebih mungkin meninggal dunia.
ilustrasi perempuan pakai masker (unsplash.com/engin akyurt)
Akan tetapi, di sisi lain perempuan dua kali lebih mungkin mengembangkan penyakit autoimun seperti lupus, artritis reumatoid, dan psoriasis, yang merupakan konsekuensi lain dari respons kekebalan tubuh perempuan yang lebih kuat, menurut laporan dalam jurnal Cureus tahun 2020.
Fenomena yang sama juga dapat menjelaskan kenapa perempuan lebih cenderung mengalami long COVID, penyintas COVID-19 yang memiliki gejala yang berlangsung selama berbulan-bulan setelah tak lagi terinfeksi virus corona.
Banyak ahli kesehatan yang percaya bahwa kondisi tersebut tidak disebabkan oleh virus, melainkan dari sistem imun yang bekerja berlebihan dan terus melawan bahkan setelah virus sudah tidak ada.