ilustrasi polusi udara di Beijing (time.com)
Dimuat dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 16 November 2021, sebuah studi gabungan Amerika Serikat (AS) dan China ingin mengetahui bagaimana pajanan polusi udara dapat meningkatkan risiko depresi.
Dalam penelitian bertajuk "Air pollution interacts with genetic risk to influence cortical networks implicated in depression" ini, para peneliti merekrut 352 partisipan sehat di Beijing, China. Ini karena Beijing memiliki tingkat polusi udara (terutama PM2.5) yang cukup tinggi.
Para peneliti kemudian mempelajari varian genetik terkait depresi pada partisipan untuk memperkirakan kerentanan genetik mereka terhadap gangguan depresi. Untuk pajanan PM2.5, para peneliti menggunakan data pemantauan udara yang paling dekat dari kediaman para partisipan selama 6 bulan sebelum penelitian.
ilustrasi polusi udara di Beijing (ft.com)
Biasanya, depresi dikaitkan dengan penurunan kognitif dan tingkat kecemasan-depresi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pasien depresi memiliki kecenderungan untuk bereaksi cemas atau menunjukkan gejala depresi pada suatu situasi. Para peneliti menilai tingkat kecemasan-depresi para partisipan dengan kuesioner.
Pertama, para peneliti meneliti efek PM2.5 pada kemampuan kognitif dan karakteristik depresi para partisipan. Hasilnya, partisipan dengan pajanan PM2.5 tinggi mencetak nilai tes kognitif (penalaran dan problem solving) yang lebih buruk. Uniknya, tingkat kecemasan-depresi tinggi berkaitan dengan pajanan PM2.5.