ilustrasi tes diabetes (pexels.com/PhotoMIX Ltd.)
Penelitian gabungan tersebut memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah para peneliti tidak menggunakan teknik euglycemic clamp yang sebenarnya standar emas untuk menilai resistansi insulin. Selain itu, analisis ini tidak mengukur perkembangan patologi metabolik selama periode follow up 2 tahun.
Para peneliti berharap bahwa penelitian lebih lanjut di masa depan dapat melihat arah hubungan resistansi insulin, pradiabetes, dan depresi. Kemudian, para peneliti melihat potensi perawatan dan pendekatan berbeda diharapkan dapat mengelola gejala depresi pada pasien resistansi insulin di masa depan.
"Kami terkejut bahwa resistansi insulin terkait dengan tingkat depresi tinggi selama masa follow up 9 tahun. Tadinya, kami tidak yakin dengan arah hubungan kedua kondisi kesehatan tersebut. Kita harus melakukan penelitian mendalam untuk mengetahuinya," papar Kathleen Watson, PhD., salah satu peneliti dari Stanford University, AS, kepada Medical News Today.
ilustrasi dokter (freepik.com/jcomp)
Penelitian gabungan ini membuka wawasan baru mengenai koneksi antara kesehatan fisik seperti kondisi kadar gula darah dan kesehatan mental seperti depresi. Jika terbukti benar, maka diperlukan cara efektif mengurangi depresi pada para pasien diabetes tipe 2, begitu pula sebaliknya.
Selain diabetes tipe 2, penelitian ini diharapkan dapat mengarahkan para tenaga kesehatan untuk mendiagnosis pasien depresi secara dini. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sedini mungkin.