Meski menjanjikan, tetapi ada beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut. Pertama, penelitian ini tidak mengungkapkan apakah partisipan menjalani terapi pengobatan. Lalu, masa penelitian yang pendek (6 bulan) juga menjadi perhatian.
Kemudian, penelitian ini juga diadakan di tengah pandemik COVID-19, sehingga ada pengaruh tersendiri terhadap kehidupan para partisipan. Dari segi pengumpulan data, mereka mengandalkan akurasi dari para partisipan. Karena rentan galat dan bias, maka hal ini juga bisa memengaruhi penelitian.
ilustasi memakan buah alpukat (unsplash.com/Louis Hansel)
Salah satu peneliti studi dari Tufts University, Dr. Alice H. Lichtenstein, memperingatkan untuk tidak langsung "tergila-gila" pada alpukat. Sesuai dengan temuan tersebut, menambahkan alpukat memang mengurangi kadar kolesterol jahat, tetapi tidak serta-merta meningkatkan aspek kesehatan secara signifikan.
"Namun, karena tak ada dampak negatif. Malah, ada manfaatnya, yaitu peningkatan kualitas pola makan," kata Dr. Alice seperti dilansir Medical News Today.
Studi ini juga menunjukkan bahwa satu alpukat tak bisa langsung memperbaiki pola makan secara keseluruhan. Meski begitu, ada baiknya untuk membiasakan konsumsi alpukat sebagai bagian dari pola makan sehat bergizi seimbang setiap hari.