Suhu badan anak yang meninggi tentu bikin orang tua khawatir, apalagi pada masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. Anak yang demam jadi mudah rewel, sulit makan atau minum, tetapi ada pula yang terlihat nyaman saja walaupun badannya panas.
Sering dianggap sebagai penyakit, tetapi demam sebenarnya adalah adalah mekanisme normal pertahanan tubuh untuk melawan infeksi. Menurut laporan dalam jurnal Children, dengan adanya demam, jumlah pertumbuhan bakteri dan replikasi virus akan terhambat, sehingga membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Ternyata demam menguntungkan tubuh, ya!
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang sudah tidak asing di Indonesia dan ditemukan di hampir seluruh daerah. Secara epidemiologi, disebutkan dalam publikasi BMC Research Notes bahwa nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus banyak hidup di Indonesia, yang menjadi sumber penularan virus dengue penyebab DBD yang ditemukan hampir setiap tahunnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menjelaskan di dalam Panduan Komprehensif Dengue bahwa infeksi virus dengue tidak selalu menyebabkan DBD, tetapi bisa juga tanpa gejala (asimtomatis), demam dengue (dengue fever), atau dapat menyebabkan kondisi DBD berat yang disebut sindrom syok dengue.
Bila anak mengalami demam dengue atau infeksi tanpa gejala, seringnya tidak perlu perawatan di rumah sakit dan akan segera membaik dengan sendirinya. Berbeda dengan demam dengue, kondisi ini mungkin perlu dipantau lebih detil. Lalu, kapan kita harus curiga DBD pada anak saat pandemi ini? Apa saja perbedaannya dengan gejala COVID-19? Simak penjelasannya berikut ini.