Selain itu, tantangan juga datang dari para pasien. Tren masyarakat Indonesia adalah beralih ke terapi herbal atau alternatif terlebih dulu. Akibatnya, sekitar 50–60 persen pasien kanker anak justru datang terlambat.
"Sudah stadium lanjut, obatnya jadi lama, dosis tinggi, sehingga harapan hidup rendah. Saat ini, dari waktu ke waktu, masih sama," ujar Dr. Teny.
Mengesampingkan ketakutan akibat minim informasi, Dr. Teny menjelaskan bahwa aspek keterjangkauan menjadi halangan sehingga mereka kesulitan. Untungnya, tidak sedikit lembaga swadaya masyarkat (LSM) yang kini menyediakan rumah tinggal di sekitar fasilitas pengobatan kanker untuk membantu pasien lebih patuh berobat.
Obat herbal tidak memiliki bukti ilmiah untuk menyembuhkan kanker. Bukan hanya tidak diketahui manfaatnya, efek sampingnya pun bisa berbahaya. Menurutnya inilah mengapa angka kanker anak di LMIC, termasuk Indonesia, masih tinggi.
"Kanker adalah penyakit berat, masa kita kasih obat yang tidak jelas? Karena akhirnya takut ke dokter, kebanyakan alternatif dulu dan baru datang ke pusat kesehatan sudah terlambat ... Maunya kami jangan berlama-lama," Dr. Teny menjelaskan.
ilustrasi pasien kanker anak (freepik.com/freepik)
Saat terdiagnosis kanker, Dr. Teny mengerti bahwa ini adalah bencana bukan hanya untuk pasien anak, melainkan untuk segenap keluarganya. Oleh karena itu, selain intervensi fisik, intervensi psikologis juga amat penting.
"Butuh dukungan komunitas agar saling menguatkan sehingga pengobatan bisa dijalani tuntas," dr. Piprim menambahkan.
Bukan hanya untuk anak, keluarga besar juga seharusnya mendapatkan bantuan psikologis. Dokter Teny menyarankan untuk "selalu dekat dengan Tuhan dan berdoa untuk kemudahan". Selain itu, bekerja sama dengan psikiater bisa turut memberi dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
"Bukan hanya obat atau terapi, pemuka agama bisa mendampingi dan berdoa bersama. Ini harus tetap didukung," kata Dr. Teny.