ilustrasi HPV dan kanker serviks (scientificanimations.com)
Turut berbicara dalam edukasi virtual tersebut, Konsultan Onkologi Ginekologi & Ketua Dewan Penasihat HOGI, Prof. Dr. dr. Andrijono, Sp.OG(K)-Onk, menjelaskan bahwa saat ini, salah satu tantangan utama Indonesia adalah mengeliminasi kanker serviks.
"Ini merupakan tantangan karena kanker serviks penyebab, metode pencegahan, vaksin, metode skrining, dan terapinya sudah diketahui, tetapi kok di tempat Indonesia ini masih tinggi," kata Prof. Andrijono.
Data Globocan pada 2020 memperlihatkan bahwa kanker serviks berada di urutan keempat, setelah kanker paru-paru, kolorektal, dan payudara. Akan tetapi, di Indonesia, kanker ini malah berada di nomor dua setelah kanker payudara, di angka 36.633 kasus.
"Kalau dilihat, padahal kanker serviks merupakan suatu kanker yang sudah diketahui segala aspeknya sampai patofisiologi, perubahan molekuler, sampai terjadinya kanker serviks sudah diketahui dengan baik," imbuh Prof. Andrijono.
ilustrasi konsultasi kanker serviks (pah.com.my)
Profesor Andrijono memaparkan bahwa Indonesia mencatat 89 pasien dan 57 kematian akibat kanker serviks per hari, bukan per bulan apalagi tahun. Oleh karena itu, masih amat jauh dari sasaran dan definisi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Faktanya, angka kanker serviks di Indonesia menduduki peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara.
"Berdasarkan data penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), risiko kematian kanker serviks stadium lanjut 94 persen dalam waktu 2 tahun... Akan tetapi, 80 persen pasien yang mencari pengobatan sudah berada di stadium lanjut," ujar Prof. Andrijono.
Karena patofisiologi yang sudah jelas, ia menjelaskan bahwa infeksi HPV sebenarnya bisa mengalami regresi. Sekitar 75–90 persen mengalami regresi spontan dan hanya 10–25 persen yang berlanjut menjadi infeksi HPV yang persisten dan mengarah ke kanker serviks.