Data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan pada kasus gonore yang resistan atau kebal antibiotik, kondisi yang bisa mempersempit pilihan pengobatan bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Laporan dari program "Enhanced Gonococcal Antimicrobial Surveillance Program (ESGAP) Gonorrhoea Treatment Optimization, 2025" mengungkap bahwa tingkat resistansi terhadap ceftriaxone dan cefixime, dua antibiotik lini pertama yang saat ini direkomendasikan WHO, melonjak tajam hanya dalam dua tahun.
Resistansi terhadap ceftriaxone meningkat dari 0,8 persen menjadi 5 persen, sementara cefixime naik dari 1,7 persen menjadi 11 persen pada periode 2022–2024.
Angka resistansi azithromycin, yang sering dipakai sebagai terapi kombinasi, juga ikut merangkak naik dari 0,5 persen menjadi 4 persen. Bahkan, 95 persen isolat bakteri Neisseria gonorrhoeae yang diuji menunjukkan resistansi terhadap ciprofloxacin.
Lonjakan ini membuat pakar kesehatan semakin khawatir. Ceftriaxone dan cefixime adalah “benteng terakhir” pengobatan gonore setelah bakteri ini menunjukkan kemampuan berkembang menjadi resistan terhadap hampir semua antibiotik yang pernah digunakan. Namun, masih ada harapan. Dua antibiotik baru, yaitu zoliflodacin dan gepotidacin, menunjukkan hasil menjanjikan dalam uji klinis dan dapat menambah opsi pengobatan dalam waktu dekat.
Data ESGAP berasal dari 12 negara di lima wilayah WHO, termasuk Brasil, India, Indonesia, Malawi, Filipina, Thailand, Vietnam, hingga Afrika Selatan. Total 3.615 kasus gonore dilaporkan sepanjang 2024, dengan tingkat resistansi tertinggi ditemukan di Kamboja dan Vietnam.
