Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Leviathan (dok. Sony Picture Classics/Leviathan)
Leviathan (dok. Sony Picture Classics/Leviathan)

Tinggal di bawah rezim otoriter bukan hal mudah, apalagi untuk pekerja kreatif macam kreator film. Terpaksa mereka harus menghadapi kebijakan sensor, intimidasi, bahkan tuduhan pidana. Namun, ini tak menghalangi beberapa sineas tetap ajek berkarya dengan gaya kritis mereka. 

Konsistensi dan keberanian mereka bisa kamu tonton lewat lima film yang mengkritisi rezim otoriter berikut. Ada yang harus terpaksa syuting di luar negeri demi merealisasikannya. Silakan bila hendak mengapresiasi keberanian mereka.

1. Leviathan (2014)

Leviathan (dok. Sony Picture Classics/Leviathan)

Pada 2015, Leviathan berhasil merebut satu nominasi Oscar untuk kategori Film Internasional Terbaik. Tak main-main, film asal Rusia ini dijuluki sinema anti-Putin pertama yang berhasil meraih perhatian internasional. Leviathan sendiri dibuat Andrey Zvyagintsev yang terinspirasi sesosok mekanik berani asal Amerika Serikat, Marvin Heemeyer. Ia kemudian mengadopsinya dengan latar Rusia lengkap dengan penyesuaian sistem politiknya.

Lakon Leviathan adalah pria paruh baya bernama Kolya yang tinggal bersama istri dan anaknya di sebuah rumah di tepi pantai. Hidupnya tenang dan tenteram sampai wali kota secara semena-mena menggusurnya dengan kompensasi yang tak setimpal. Tak terima, ia bekerja sama dengan seorang pengacara untuk mempertahankan rumah tersebut. Tak kehilangan akal, para oligarki dan politisi korup di negeri itu berhasil memanipulasi kehidupan personal Kolya untuk menyingkirkannya. Saking kritisnya, banyak yang tak percaya kalau Rusia memilih Leviathan untuk mewakili Oscar.

2. Harka (2022)

Harka (dok. Unifrance/Harka)

Harka merupakan kritik pedas terhadap otoritas Tunisia yang disampaikan Lotfy Nathan lewat sosok pemuda bernama Ali. Ketimpangan ekonomi dan ketiadaan keadilan sosial di negeri itu membuat hidupnya sungguh sulit. Ali harus bekerja serabutan untuk menghidupi adik-adiknya serta membayar utang orangtuanya. 

Sudah bekerja mati-matian dengan jam kerja panjang, Ali masih harus meladeni aparat korup yang gemar meminta pungli padanya hampir setiap hari. Ini membuatnya makin frustrasi hingga nekat melakukan aksi bakar diri layaknya yang pernah dilakukan pria bernama Mohamed Bouazizi. Aksi Bouazizi kemudian memicu terjadinya gelombang protes akar rumput di beberapa negara Timur Tengah, yang kemudian dikenal dengan istilah Arab Spring.

3. No Bears (2022)

film No Bears (dok. Janus Films/No Bears)

No Bears adalah film kritis kesekian yang dibuat Jafar Panahi sepanjang kariernya sebagai sutradara. Karya-karya Panahi sendiri sudah beberapa kali dicekal karena tak memenuhi kriteria sensor yang ditetapkan pemerintah Iran. Namun, ia tetap konsisten dengan gaya sinematik dan pendiriannya. Bahkan, sebagai balasan, Panahi justru mengkritisi regulasi sensor dan kebebasan berekspresi lewat karyanya, misalnya lewat film dokumenter This is Not a Film (2011), Taxi (2015), dan 3 Faces (2018).

Paling baru, Panahi merilis No Bears yang lagi-lagi mengaburkan fakta dan realitas. Dalam film tersebut, Panahi memerankan seorang sutradara yang sedang membuat sebuah film dari jarak jauh karena statusnya yang masih dicekal pemerintah. Selama proses syuting, ia memilih bermarkas di sebuah desa di perbatasan Iran dan Turki. Namun, dalam prosesnya, ia justru terlibat dalam sebuah polemik. Itu terjadi berkat ketidaksengajaannya merekam pertemuan dua sejoli yang hubungannya tidak direstui keluarga.

4. There is No Evil (2020)

There is No Evil (dok. Kino Lorber/There is No Evil)

Rekan sejawat Panahi, Mohammad Rasoulof, juga sudah kebal dengan berbagai restriksi pemerintah Iran. Seolah tak peduli, ia merilis film kritis berjudul There is No Evil yang secara terang-terangan membedah sisi gelap regulasi hukuman mati dan wajib militer di negeri itu. Kritiknya ia kemas lewat antologi empat cerita pendek.

Karakternya pun beragam. Namun, satu yang menyatukan mereka: fakta bahwa mereka punya peran dalam pemberlakuan kebijakan hukuman mati tersebut. Rasoulof bakal membawamu menyelami kondisi psikis para lakonnya yang penuh pergolakan batin dan rasa bersalah. Walau tak menampilkan adegan kekerasan sama sekali, Rasoulof tetap berhasil bikin penonton bergidik. 

5. On The President's Orders (2019)

On the President's Order (dok. PBS/On the President's Order)

On the President's Order adalah film dokumenter yang dibuat sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan darurat militer presiden Rodrigo Duterte. Tepatnya pada 2016, dengan justifikasi krisis narkoba di Filipina, Duterte membiarkan pembunuhan para terduga pengedar narkoba terjadi di negaranya tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Itu jadi salah satu masa paling kelam dan mengerikan buat Filipina. Bayangkan saja, gerakan perang terhadap narkoba itu amat brutal hingga mengabaikan aspek-aspek hukum dan kemanusiaan. 

Di balik janji-janji kestabilan ekonomi dan keamanan, otoritarianisme terbukti cukup problematik. Itu setidaknya yang hendak disampaikan kelima film kritis di atas. Apresiasi tinggi untuk para sineas yang tetap berani mengutarakan unek-unek dan kritiknya di tengah sensor dan intimidasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team