Selain anime yang mendunia, karya sineas film arthouse Jepang juga sering melintasi benua dengan tayang perdana di berbagai festival film bergengsi. Nama-nama lawas mungkin sudah pernah kamu dengar sebelumnya. Seperti Yasujiro Ozu, si pelopor aliran minimalis; Akira Kurosawa maestro yang piawai mempermainkan emosi penonton; Yoji Yamada, sang spesialis drama domestik; atau Nagisa Ōshima yang pendekatan sinematiknya kontroversial.
Seiring berjalannya waktu, muncul pula nama-nama baru yang melanjutkan legasi sineas-sineas senior di atas. Kehadiran mereka pun membentuk identitas dan signatur dalam sinema Jepang. Mengutip Robin Syversen dari Japanese Cinema Archives, sinema Jepang identik dengan teknik deep-focus, flat lighting, dan wide-shot. Tak heran kalau terkadang durasi film Jepang bisa lebih dari 120 menit dan lajunya cenderung lambat. Bahkan untuk genre action sekalipun.
Hal lain yang jadi identitas sinema Jepang adalah keberadaan unsur-unsur kekerasan yang mungkin membuat kamu tak nyaman. Film Jepang seolah tidak diciptakan sebagai pesaing film Hollywood. Mereka punya pendekatan yang berbeda saat membuat plot dan selalu mengeklaim karyanya tidak untuk semua orang. Menurut Pang dalam jurnal Modern Chinese Literature and Culture berjudul 'New Asian Cinema and Its Circulation of Violence', film Jepang punya kemiripan dengan sinema-sinema Hong Kong dan Korea yang punya kecenderungan mengekspos kekerasan dan tak ragu menyertakan adegan eksplisit.
Menurut sutradara langganan film action dan thriller asal Jepang, Takashi Miike seperti yang dikutip Pang, film adalah ekspresi dari apa yang tidak terekspos di masyarakat Jepang. Opini Miike seakan diamini oleh Profesor Kriminologi Alison Young dari University of Melbourne lewat tulisannya 'Japan's Hidden Landscape of Violent Crime' yang menyoroti ganjilnya angka statistik kriminalitas di Jepang yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Namun, ini bukan berarti film Jepang tak menarik untuk dinikmati maupun diulas. Jika ingin mengulik industri film Jepang, silakan mulai dari mengenal sutradara kontemporer berikut. Tidak semua memilih untuk mengekspos kekerasan dan quirkiness, kok. Beberapa memutuskan untuk fokus ke ideologi dan filosofi lekat dengan kehidupan sehari-hari.