TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

3 Faktor yang Menjelaskan Superioritas Film-Film Studio Ghibli 

Pelopor animasi dengan elemen realis 

When Marnie Was There (dok. Studio Ghibli/When Marnie Was There)

Walau tergolong muda bila dibanding Disney, secara popularitas dan kualitas, Studio Ghibli tidak bisa diremehkan. Mereka adalah pelopor film animasi dengan plot kuat dan detail spektakuler. Sejak berdiri pada 1985, film-film lawas mereka yang rilis pada 1980-an, seperti Kiki's Delivery Service (1989), My Neighbor Totoro (1988), dan Grave of the Fireflies
(1988) masih jadi tontonan klasik favorit banyak orang. 

Tak pula terbatas pada anak-anak, orang dewasa pun mengakui superioritas film-film gubahan Studio Ghibli. Padahal, sampai sekarang mereka belum beralih dari animasi 2D, seolah tak peduli dengan teknologi canggih yang menginvasi persaingan film animasi.

Lantas, apa yang membuat film-film Studio Ghibli superior dengan cara dan gayanya sendiri? Berikut tiga faktor utamanya. 

Baca Juga: 5 Hal Menarik dari Film Animasi Ghibli The Boy and The Heron 

1. Piawai meromantisasi hal-hal yang normal ditemukan dalam keseharian kita

adegan memasak dalam Howl's Moving Castle (dok. Studio Ghibli/Howl's Moving Castle)

Zoe Crombie dalam artikelnya berjudul "The Spectacular Mundane in the Films of Studio Ghibli" di Journal of Anime and Manga Studies menganalisa beberapa hal yang jadi daya tarik film-film Studio Ghibli. Salah satunya lewat kecenderungan para kreatornya meromantisasi hal-hal sederhana yang biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama makanan. Proses memasak dan mengicip makanan sering dapat jatah tayang yang lumayan lama dalam film-film Ghibli.

Menariknya, ini justru yang membuat penonton betah. Bahkan kecenderungan itu pula yang kemudian melahirkan buku kumpulan resep dari film Ghibli. Selain makanan, kegiatan-kegiatan remeh lain pun bisa disulap jadi spektakuler lewat tangan para animator Ghibli.

Elemen-elemen realis yang mengiringi animasi Ghibli, seperti efek suara saat daun tertiup angin, bulir-bulir beras yang tumpah, air yang mengalir ke dalam ember, atau semangka yang dipotong dengan pisau ternyata mampu menstimulasi kelima indera penonton secara tidak langsung. Kamu merasakannya, kan?

Baca Juga: 5 Film Anime Studio Ghibli yang Bikin Imajinasimu Melambung Tinggi

2. Berhasil mempromosikan isu progresif dengan cara yang tak agresif

My Neighbor Totoro (dok. Studio Ghibli/My Neighbor Totoro)

Film-film Ghibli banyak mengangkat dan mempromosikan isu-isu progresif, seperti kesetaraan gender, hak pekerja, gaya hidup slow-life, antikonsumerisme, antikekerasan, hingga gerakan sadar lingkungan. Namun, mereka melakukannya dengan cara yang tidak agresif. Yakni dengan memberikan contoh nyata, menggunakan analogi, serta melakukan proses defamiliarization (mengubah hal familier jadi lebih abstrak agar penonton bisa melihat dengan perspektif baru). 

Saat bicara kesetaraan gender misalnya, Ghibli melakukannya dengan mendapuk protagonis perempuan sebagai agen perubahan, seperti yang terlihat di film Spirited Away, Kiki's Delivery Service, Princess Mononoke, When Marnie Was There, dan Only Yesterday. Mereka juga menormalisasi peran domestik laki-laki, seperti sosok penyihir Howl di Howl's Moving Castle serta ayah Satsuki dan Mei di My Neighbor Totoro.

Ghibli juga tak pernah absen membahas isu lingkungan dengan cara yang unik. Misalnya, protes terhadap penggundulan lahan yang dilakukan sekawanan rakun yang bisa menyamar dalam Pom Poko, prediksi dampak senjata nuklir yang menghancurkan bumi dalam Nausicaa of the Valley of the Wind, hingga peran prominen flora dan fauna dalam The Secret World of Arrietty dan Ponyo. Kesetiaan mereka menggunakan pendekatan pasifis alias cinta damai juga patut dipuji. Pesan antiperang dan nirkekerasan selalu jadi titik berat film-film animasi Ghibli. Coba saja cek kembali Nausicaa of the Valley of the Wind, Howl's Moving Castle, Grave of the Fireflies, dan Castle in the Sky. 

Isu lain yang tak kalah menarik adalah antikonsumerisme dan slow-life. Kebanyakan film Ghibli berlatarkan kota kecil dan pedesaan, di situlah mereka mulai melancarkan aksi-aksi romantisasi gaya hidup lambat. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti dalam film Spirited Away mereka dengan gamblang mengkritik budaya konsumsi berlebih dan keserakahan manusia lewat transformasi mengerikan orangtua Chihiro.

Baca Juga: 5 Film Studio Ghibli dengan Durasi Lebih dari 2 Jam, Wajib Tonton!

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya