TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Film Feminis Afrika Sub-Sahara, Berlian yang Terkubur

Bukan untuk pencari film menghangatkan hati

This is Not a Burial, It's Resurrection (dok. MUBI/This is Not a Burial, It's Resurrection)

Dibanding film Afrika Utara, sinema Afrika Sub-Sahara relatif jarang terdengar gaungnya. Seolah berita soal konflik dan kudeta militer mengubur geliat industri perfilman di region itu. Padahal, bila kita mau lebih jeli menelisik, ada banyak film karya sineas mereka yang layak ditonton. 

Selain masalah ketimpangan dan kemiskinan struktural yang khas negara-negara bekas koloni Eropa, isu feminisme juga cukup sering diangkat dalam film. Beberapa di antaranya memenangkan penghargaan internasional.

Penasaran? Silakan catat tujuh rekomendasi film feminis Afrika Sub-Sahara terbaik berikut untuk dimasukkan dalam daftar tontonmu. Kisahnya bikin kamu ternganga, sih!

Baca Juga: 6 Film Feminis Eropa Timur Terbaik, Miris sampai Hangatkan Hati

1. Timbuktu (2014)

Timbuktu (dok. Le Pacte/Timbuktu)

Timbuktu adalah salah satu film Afrika paling dekoratif dengan raihan nominasi BAFTA dan Oscar. Abderrahmane Sissako, selaku sutradara, mencoba menyoroti kemunafikan para anggota kelompok ekstremis Islam yang menguasai sebagian wilayah Mali. Mereka datang dan menerapkan hukum syariah ketat, tetapi nyatanya tak sanggup menaatinya. 

Perspektif perempuan ikut disertakan di sini. Mulai dari seorang gadis yang diculik setelah menolak lamaran seorang laki-laki (dikenal dengan istilah bride kidnapping), aturan-aturan ketat soal pakaian yang kadang tak masuk akal, dan lain sebagainya. Timbuktu bukan tipe film yang menghangatkan hati, sebaliknya pedih dan cukup mengganggu meski adegan kekerasan tidak ditampilkan di depan layar. 

2. Black Girl (1966)

Black Girl (dok. Janus Films/Black Girl)

Black Girl juga tak kalah pedih. Dibuat sutradara legendaris Ousmane Sembene pada 1966, beberapa tahun setelah Senegal merdeka dari Prancis, film ini mengikuti perspektif seorang gadis kulit hitam yang dapat pekerjaan di Paris. Awalnya dilihatnya sebagai peluang untuk meraup kebebasan lebih, yang terjadi justru ia terkurung di rumah majikannya hampir sepanjang waktu. 

3. Lingui, The Sacred Bonds (2021)

Lingui, The Sacred Bonds (dok. MUBI/Lingui, The Sacred Bonds)

Dibanding dua film sebelumnya, tone film Lingui memang lebih hangat. Namun, itu bukan berarti kamu tak akan menemukan hal-hal mengganggu. Film ini mengikuti kehidupan seorang ibu tunggal dan putri remajanya di tengah masyarakat patriarki.

Di tengah kesulitan ekonomi yang mencekiknya, kabar buruk lain menimpa mereka. Sang putri hamil di luar nikah dan si ibu pun harus segera mencari solusi untuk menyelamatkan masa depan putrinya itu. 

4. Félicité (2017)

Felicite (dok. Jour2Fete/Felicite)

Felicite berlatarkan Kongo, tetapi dibuat oleh sutradara asal Senegal keturunan Prancis, Alain Gomis. Ini membuat filmnya terpilih jadi submisi resmi Senegal pada Oscar 2017 dan sempat masuk shortlist.

Felicite diambil dari nama sang lakon, seorang seniman dan ibu tunggal yang harus berjuang membiayai operasi krusial putra semata wayangnya. Ini jadi momen pertama kali bagi Felicite meruntuhkan gengsinya. 

5. I Am Not a Witch (2017)

I am Not a Witch (dok. BFI Film Fund/I am Not a Witch)

I am Not a Witch adalah film komedi berlatarkan desa di Afrika Sub Sahara yang kedatangan tamu tak diundang. Ia adalah bocah perempuan yang tak sudi berbicara maupun menjawab pertanyaan penduduk. Sontak, penduduk desa yang masih percaya hal mistis berasumsi kalau sang bocah adalah titisan dukun atau penyihir.

Sebagai pencegahan akan hal-hal yang tak diinginkan, sang bocah pun ditempatkan di pondok yang sama dengan beberapa perempuan yang juga dianggap menyimpan kekuatan jahat. Selama 90 menit, kamu akan diajak menyusuri seluk beluk sang bocah dan para "penyihir" perempuan dari sudut pandang tatanan masyarakat yang patriarkis. 

6. The Fisherman's Diary (2020)

The Fisherman's Diary (dok. Netflix/The Fisherman's Diary)

The Fisherman's Diary menyuguhkan kisah feminis pedih lainnya lewat perspektif remaja perempuan bernama Ekah. Ia punya keinginan kuat untuk melanjutkan sekolah, tetapi terhalang tradisi di desanya yang cenderung menikahkan perempuan pada usia yang amat muda. Sedih, sebal, dan kesal bakal kamu rasakan dalam satu waktu. Hal terburuknya, kisah ini ternyata lekat dengan realitas di Kamerun, yakni latar filmnya. 

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya