TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Film dengan Sinematografi Apik, tapi Plotnya Amburadul

Setidaknya masih bisa dinikmati berkat visual yang memikat

Richard Madden dan Gemma Chan dalam film Eternals (dok. Marvel Studios/Eternals)

Sudah menjadi tugas sinematografer untuk membuat sebuah film tampil memukau lewat teknik pengambilan gambar dan visualisasi menarik. Jadi satu dari sederet elemen penting dalam film, nyatanya bagus atau tidaknya film masih bergantung pada plot serta alur ceritanya sendiri.

Tidak melulu harus menghadirkan plot yang rumit dengan plot twist bombastis, membuat para penontonnya betah dan penasaran dengan premis yang ditawarkan sudah lebih dari cukup. Namun, tidak semua sineas mampu menyinkronkan kedua hal tersebut.

Seperti sederet film berikut ini, mereka tampil mengecewakan karena gagal mengeksekusi narasi yang sudah dibuat dengan baik. Namun, setidaknya film-film berikut ini masih bisa dinikmati berkat sinematografi yang memikat. Kamu sudah nonton yang mana?

Baca Juga: 5 Perbedaan Eternals Versi Film (MCU) dan Komik

1. Eternals (2021)

cuplikan film Eternals (dok. Marvel Studios/Eternals)

Jadi film pembuka Phase 4 Marvel Cinematic Universe (MCU), para penggemar menaruh ekspektasi setinggi langit. Menghadirkan sederet karakter baru serta menggandeng sutradara Chloé Zhao yang sukses menyabet sederet penghargaan bergengsi lewat Nomadland (2020), Eternals menjadi salah satu film paling dinanti penayangannya.

Mendapatkan ulasan yang beragam, baik kritikus maupun penggemar MCU sepakat bahwa plot hambar masih bisa dinikmati lewat kualitas sinematografinya yang di atas rata-rata jika dibandingkan dengan film MCU dari fase sebelumnya.

Eternals mengikuti sekelompok ras asing yang melindungi Bumi dari awal mula peradaban manusia. Usai hidup terpisah dan menyembunyikan identitas asli mereka selama ribuan tahun, mereka kembali bersatu untuk melawan Deviants, musuh bebuyutan mereka.

2. Valerian and the City of a Thousand Planets (2017)

Valerian and the City of a Thousand Planets (dok. Europa Corps/Valerian and the City a Thousand Planets)

Disadur dari novel grafik berjudul sama karya Luc Besson, satu-satunya hal positif dari Valerian and the City of a Thousand Planets adalah sinematografi serta visual effect yang megah dan dieksekusi dengan cemerlang. Sederet aktor A-lister dengan kualitas akting yang mumpuni sekalipun, seperti Dan DeHaan, Clive Owen, hingga Ethan Hawke, nampaknya tidak mampu menyelamatkan film sci-fi tersebut dari kegagalan.

Berlatar di abad ke-28, Valerian and the City of a Thousand Planets berfokus pada agen khusus Valerian (Dane DeHaan) dan Laureline (Cara Delevingne) yang ditugaskan untuk menjalani misi berbahaya. Keduanya pergi ke Alpha, sebuah tempat di mana beragam spesies lintas alam semesta berkumpul untuk berbagi ilmu pengetahuan dan budaya, untuk memburu sosok jahat yang tidak hanya mengancam keselamatan Alpha, tapi juga masa depan mereka.

3. Sucker Punch (2011)

Sucker Punch (dok. Legendary Entertainment/Ad Astra)

Masuk dalam kategori film love it or hate it, harus diakui bahwa sinematografi yang dihadirkan dalam Sucker Punch terbilang revolusioner dalam sejarah film kontemporer Hollywood. Memadukan insting dan kepiawaian Zack Snyder dalam memaksimalkan penggunaan efek CGI, Sucker Punch sukses menghadirkan rangkaian shot menakjubkan ala buku komik lengkap dengan slow motion yang artistik.

Sayangnya, hal tersebut tidak disertai dengan penulisan naskah yang terkesan ditulis dengan asal-asalan saking absurdnya.

Sucker Punch mengisahkan gadis belia bernama Babydoll (Emily Browning) yang dimasukan ke rumah sakit jiwa oleh ayah tirinya. Dihadapkan pada masa depannya yang tak pasti, Babydoll melarikan diri ke dalam imajinasinya, di mana dirinya bersama dengan empat temannya berniat untuk melarikan diri.

Baca Juga: 8 Film Romantis dengan Sinematografi Paling Estetik, Ciamik!

4. The Neon Demon (2016)

The Neon Demon (dok. Wild Bunch/The Neon Demon)

Usai mendulang sukses lewat Drive (2011), Nicolas Winding Refn mencoba peruntungannya dengan menggarap film eksperimental berjudul The Neon Demon. Secara visual, kombinasi antara warna neon yang kontras dan set  artistik tampil tanpa cela. Namun, teror yang telah dibangun secara perlahan ambyar begitu saja berkat upaya Nicolas dalam berimprovisasi di paruh terakhir durasi film.

The Neon Demon mengikuti Jesse (Elle Fanning), gadis belia yang datang ke Los Angeles untuk mengadu nasib sebagai model ternama. Untuk memuluskan niatnya, Jesse berpacaran dengan fotografer bernama Dean (Karl Glusman) dan berteman dengan penata rias bernama Ruby (Jena Malone).

Jesse yang dinilai memiliki aura yang unik mengantarkannya pada kesuksesan dalam sekejap mata. Disisi lain, Ruby dan sesama rekan modelnya yang iri menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dimiliki oleh Jesse.

Verified Writer

Febby Arshani

hehe

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya