TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Jenis Film Dokumenter yang Mungkin Belum Kamu Ketahui

Terbagi dalam enam jenis dengan masing-masing karakteristik 

Cameraperson (dok. Fork Films/Cameraperson)

Film dokumenter berperan penting dalam sejarah perfilman. Hal tersebut dilandasi dari kemampuan dalam menginformasikan sekaligus mendidik para penontonnya dengan topik pembahasan yang luas.

Telah eksis hampir satu abad lamanya, film dokumenter terus bertransformasi seiring dengan sejumlah inovasi yang dibuat oleh para pegiat film setiap tahunnya. Bahkan, tak jarang film dokumenter berjaya di berbagai ajang penghargaan, lho

Pada 1991, kritikus film dan teoritis, Bill Nichols, mengusungkan sejumlah gagasan seputar film dokumenter dalam bukunya, Introduction of Documentary. Salah satu di antaranya ada film dokumenter yang terbagi ke dalam enam jenis dengan masing-masing karakteristik.

Baca Juga: 6 Film Dokumenter Jepang yang Bisa Ditonton di Netflix

1. Poetic Documentary

La Jetée (dok. Argos Film/La Jetée)

Pertama kali ditemukan pada 1920-an, poetic documentary memiliki konsep yang abstrak. Tipe dokumenter yang satu ini jarang atau bahkan tidak memuat konten naratif sama sekali di dalamnya.

Poetic documentary sangat mengandalkan mood, tone, serta komposisi shot yang artistik. Hal tersebut berangkat dari tujuan poetic documentary yang lebih mengutamakan pengalaman menonton yang berbeda dengan menciptakan nuansa baru ketimbang mencari tahu kebenarannya.

Salah satu poetic documentary terbaik ada La Jetée (1962). Sutradara Chris Marker menggunakan gabungan adegan acak, tapi berkesinambungan untuk menyampaikan kisah soal laki-laki yang dikirim ke masa lalu untuk mencegah meletusnya peperangan.

2. Expository Documentary

The Dust Bowl (dok. Ken Burns/The Dust Bowl)

Bisa dibilang expository documentary adalah stigma film dokumenter yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Sesuai dengan namanya, expository documentary bertujuan untuk menjelaskan atau menginformasikan penontonnya akan satu topik tertentu.

Expository documentary pada umumnya dibuat dari satu sudut pandang atau argumen tertentu. Tipe film dokumenter satu ini berisikan gabungan adegan berupa stock footage, archival footage, B-roll, hingga sesi wawancara untuk mendukung serta memperkuat topik yang tengah dibahas. Expository documentary juga memuat narasi yang dibawakan dengan teknik sulih suara Voice of God–suara tanpa tuan yang digunakan untuk menyampaikan pesan umum kepada penonton.

The Dust Bowl (2012) besutan sutradara Ken Burns merupakan salah satu contoh expository documentary. Di sini Burns menyoroti bencana kekeringan terburuk yang terjadi saat Great Depression–krisis ekonomi yang melanda Amerika pada 1929—1939. Burns turut menyertakan sejumlah foto dan fakta menarik untuk melengkapi penyebab dan dampak dari bencana yang melanda lahan pertanian di Amerika Utara. 

3. Observational Documentary

Chronicle of a Summer (dok. Argos Film/Chronicle of a Summer)

Munculnya sejumlah movement atau inovasi di industri perfilman diiringi dengan pesatnya perkembangan teknologi kamera. Hal tersebut yang melatari lahirnya observational documentary pada 1960-an.

Beriringan dengan dimulainya cinema verité movement, keduanya memiliki gaya pembuatan film yang serupa yakni mengungkap kebenaran melalui realita. Sinematografer akan merekam serta mengamati keseharian subjeknya tanpa mengganggunya sama sekali. Teknik pengambilan gambar tersebut juga dikenal sebagai fly-on-the-wall.

Salah satu observational documentary terbaik ada Chronicle of a Summer (1961). Sutradara Edgar Morin dan Jean Rouch menilik kehidupan penghuni Kota Paris pada musim panas 1960 melalui serangkaian wawancara dan perbincangan ringan.

Baca Juga: 10 Film Dokumenter Pemenang Oscar 1 Dekade Terakhir

4. Participatory Documentary

The Gleaners and I (dok. Ciné-Tamaris/The Gleaners and I)

Participatory documentary merupakan jenis film dokumenter yang mana sang pembuat film berinteraksi langsung dengan subjek pembahasannya. Juga dikenal dengan sebutan interactive documentaries, tipe dokumenter ini lebih sering mengambil sudut pandang interviewer atau pewawancara untuk mengulik kebenaran atau membuktikan maksud dari suatu topik. Hal tersebut sejalan dengan fokus utama mereka dalam menangkap respon dan interaksi yang terjalin baik secara natural maupun spontan.

Dalam The Gleaners and I (2000), Agnès Varda mempelajari lebih lanjut fenomena gleaning atau mengumpulkan sisa hasil panen dari ladang petani. Varda turut menyelipkan pandangannya terhadap ageing–proses penuaan yang dialami oleh makhluk hidup–dan kreativitas itu sendiri.

5. Reflexive Documentary

Man with a Movie Camera (dok. VUFKU/Man with a Movie Camera)

Jika jenis film dokumenter sebelumnya menjadikan topik pembahasan sebagai fokus utamanya, reflexive documentary justru sebaliknya. Subgenre satu ini lebih menitikberatkan pada koneksi antara sang pembuat film dan audiensnya. Subjek yang dibahas pun tidak jauh-jauh dari proses pembuatan dokumenter itu sendiri.

Reflexive documentary kerap menggunakan teknik pengambilan gambar ala behind-the-scenes dimana menampilkan seluruh tahapan proses produksi film termasuk editing, tahapan post-production, dan wawancara dengan sejumlah kru film.

Man with a Movie Camera (1929) adalah satu dari sederet reflexive documentary terbaik. Berfokus pada seorang cameraman dalam mendokumentasikan kehidupan di area perkotaan, sutradara Dziga Vertov menggunakan sejumlah teknik shot eksperimental seperti split screen dan jump cuts.

Verified Writer

Febby Arshani

hehe

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya