TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Momen Seru dari Ubud Writers & Readers Festival 2018, Keren Maksimal

Keren sejak hari pertama

IDN Times/Imam Rosidin

Gianyar, IDN Times - Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2018 yang ke-15 telah selesai dilakukan. Dalam acara yang diselenggarakan pada 24-28 Oktober ini menjadi wadah para penulis, seniman, sutradara, pegiat, dan cendekiawan dari seluruh dunia untuk merayakan gagasan, ide, serta kisah-kisah hebat mereka.

Baca Juga: Sapardi Terima Penghargaan "Lifetime Achievement Award" di UWRF 2018

Seperti diketahui, UWRF sudah berjalan selama 15 tahun. Pertama kali digelar, even ini dimaksudkan untuk menyembuhkan tragedi bom Bali pada tahun 2003 lalu. Hingga tahun ini, UWRF berhasil menghadirkan 180 pembicara dari 30 Negara, termasuk Indonesia.

Selain itu, UWRF juga menghadirkan lebih dari 200 program acara mulai dari panel diskusi, lokakarya, acara spesial, pemutaran film, peluncuran buku, pameran seni, pertunjukan musik, dan masih banyak lagi.

1. Perjalanan panjang UWRF

Dok.IDN Times/Istimewa

2. Penulis terbaik dari Inggris, Hanif Kureishi juga hadir

Dok.IDN Times/Istimewa

Di hari pertama, Rabu (24/10) sore, UWRF menggelar Press Call di Desa Visesa Ubud bersama Founder Yayasan Mudra Swari Saraswati, Ketut Suardana, dan Co-Founder & Director UWRF, Janet DeNeefe.

Dalam acara tersebut juga hadir penulis terbaik dari Inggris, Hanif Kureishi serta penulis dan jurnalis pemenang penghargaan Reni Eddo-Lodge. Juga, penulis sekaligus arsitek Avianti Armand, dan penulis muda Indonesia berbakat Norman Erikson Pasaribu.

Dalam acara tersebut membicarakan beragam tema. Di antaranya feminisme, keberagaman, kebebasan berekspresi, sastra yang berkembang dan manfaatnya yang luas.

3. Memahami tema yang disusung

IDN Times/Imam Rosidin

Dalam Press Call tersebut, juga membicarakan terkait tema yang dipilih UWRF 2018. Yakni ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’. Maknanya sendiri adalah tentang pencarian manusia akan kebahagiaan di dalam dunia yang kita ciptakan.

Janet DeNeefe mencoba menceritakan perjalanan festival, yang mana misinya adalah menjembatani penulis Indonesia agar karyanya lebih dikenal dunia.

“Ketika kita merenungkan 15 tahun terakhir dan bagaimana festival telah berkembang, ketika kita melihat kembali interaksi antara para penulis dan pembaca Indonesia dan internasional, sekiranya ada satu hal yang cukup jelas. Sebagian besar peserta festival awalnya mengatakan bahwa mereka tidak tahu apapun tentang penulis Indonesia, tetapi sekarang telah berubah. Orang-orang duduk (Di panel diskusi UWRF) dan benar-benar memerhatikan,” ujarnya.

4. Gala opening dan acara menarik setelahnya

dw.com

UWRF 2018 resmi dibuka pada Rabu (24/10) malam di Puri Agung Ubud. Hadir dalam pembukaan tersebut adalah mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa.

Pada malam tersebut, UWRF juga menganugerahkan Lifetime Achievement Award kepada penulis paling dicintai di Indonesia, Sapardi Djoki Darmoni. Penghargaan ini diberikan atas jasa-jasa besar Sapardi kepada dunia sastra Indonesia.

"Terimakasih UWRF dan semoga di masa yang akan datang emakin besar dan dikenal di masa mendatang,” ujarnya.

Di hari kedua, Kamis (25/10) bertempat di Neka Museum, UWRF menghadirkan Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Dalam acara tersebut membahas berbagai hal menarik mulai dari kasus kapal pemancingan ilegal, pentingnya kekuatan maritim di Indonesia, polusi dan limbah di laut Indonesia, hingga isu maritim internasional. 

Hari pertama UWRF juga semakin semarak dengan kehadiran Sapardi Djoko Damono, Warih Wisatsana, Gratiagusti Channaya Rompas, dan Andre Septiawan dalam panel diskusi Higher Self. 

Para penyair dari generasi berbeda ini mengungkapkan sumber inspirasi penciptaan puisi, penemuan jati diri lewat puisi, hingga isu-isu menarik yang bisa diolah menjadi sebuah puisi.

5. Jadi ajang para penulis yang terpilih dari pelosok Indonesia

Dok.IDN Times/Istimewa

Hari Jumat (26/10), UWRF menghadirkan sesi Twenty Years Later bersama penyair sekaligus pegiat asal Bali, Saras Dewi dan Presiden Direktur Mizan Group sekaligus penulis buku Islam: The Faith of Love and Happiness, Haidar Bagir. 

Sesi ini secara khusus mendiskusikan mengenai hal-hal yang belum berhasil dicapai Indonesia dalam era reformasi, kebebasan politik di Indonesia, hingga tingginya tingkat intoleransi di negeri kita tercinta.

Sesi Envolving Islam yang menghadirkan Janet Steele, Sidney Jones, Haidar Bagir, dan Dina Zaman juga cukup menyita perhatian. Pembahasan mengenai kemiripan dan perbedaan Islam di Indonesia dan Malaysia hingga kebijakan politik yang dibuat berdasarkan Islam, didiskusikan secara mendalam oleh para pembiacara ahli tersebut. 

Di samping pembahasan politik dan agama, para pencinta film juga cukup dimanjakan dengan sesi mengenai film, yaitu sesi The Seen and Unseen bersama sutradara berbakat Kamila Andini.

Sesi yang dimoderatori oleh Uphie Abdurrahman ini mengulik alasan Kamila membuat film yang emosional dan menyentuh hati, tema serta visualisasi film Sekala Niskala, hingga perjalanannya dalam mendanai film tersebut.

Pada Sabtu (27/10), UWRF menggelar sesi The Pledge di Taman Baca bersama peraih Online Indonesian Language Reviewer Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Ivan Lanin, penulis esai berbahasa Inggris In The Hands Of a Mischievous God Theodora Sarah Abigail, penulis sekaligus pendiri Comma Books Rain Chudori, penulis Myth, Magic dan Mystery in Bali Jean Couteau.

Sesi ini mengulik penyebab kesalahan berbahasa hingga banyaknya generasi muda Indonesia yang kini lebih memilih untuk bercakap dalam bahasa asing di kehidupan sehari-hari mereka.

 “Akan sangat tepat jika di Indonesia ini diterapkan perencanaan bahasa. Karena tanpa perencanaan bahasa, membiarkan orang berbahasa seenaknya seperti membiarkan orang mengemudi seenaknya," ujar Ivan Lanin.

“Para milenial menganggap rendah bahasa Indonesia dan bahasa daerah karena mereka tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari bahasa tersebut. Untuk itu, kita harus mengingatkan kembali bahwa bahasa kita pantas untuk dicintai. Tidak hanya membuat mereka peduli pada bahasa kita tetapi yang juga kepada negara kita,” sambung Theodora Sarah Abigail.

Yang juga menjadi highlight dari UWRF 2018 adalah hadirnya lima penulis emerging yang dipilih dari Seleksi Penulis Emerging Indonesia yang datang dari beberapa kota di pelosok Indonesia, untuk tampil dalam sesi-sesi diskusi bersama pembicara-pembicara terkenal dunia dan meluncurkan buku Antologi 2018.

Pada hari terakhir, UWRF 2018 juga menghadirkan Against All Odds bersama Yenny Wahid. Tingginya antusiasme dan banyaknya pertanyaan dari para peserta festival yang hadir, membuat sesi tanya jawab dengan Yenny Wahid dilanjutkan di Green Room Neka Museum.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya