TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

The Flash, saat Barry Allen Gagal Move On dari Masa Lalu

Kado manis untuk semua fans DC dari berbagai generasi

poster film The Flash (dok. DC Studios/The Flash)

Sebelum sepenuhnya melangkah ke DC Universe (DCU), tahun ini DC Studios benar-benar memanjakan para penggemarnya lewat sejumlah judul yang sudah disiapkan. Setelah Maret lalu ada Shazam! Fury of the Gods (2023), kali ini giliran The Flash (2023) yang siap menghibur para superhero geek di seluruh dunia, khususnya Indonesia.

Tayang di bioskop sejak Rabu (14/6/2023), film arahan Andy Muschietti (Mama, It, It: Chapter Two) ini langsung mendapat reaksi luar biasa dari penonton. Banyak yang memuji konsep multiverse ala komik Flashpoint yang menjadi inspirasinya. Di sisi lain, tak sedikit pula yang mengaku takjub dengan adegan aksi bertempo cepat yang disajikan oleh sang sutradara.

Lantas, apakah dua hal tersebut membuat The Flash layak dinobatkan sebagai salah satu film DC Extended Universe (DCEU) terbaik? Sebelum membuktikannya sendiri, review film The Flash di bawah ini sedikit banyak bakal memberikanmu gambaran. Simak baik-baik, ya!

1. Misi penyelamatan ibu yang berujung petaka

Ezra Miller dalam film The Flash (dok. DC Studios/The Flash)

Setiap orang memiliki masa lalu, tak terkecuali pahlawan super. Sementara sebagian berhasil merelakannya, sebagian mengubah masa lalu tersebut menjadi "hantu" yang terus mengejar. Bagi Barry Allen alias The Flash (Ezra Miller), hantu tersebut adalah manifestasi dari kegagalannya menyelamatkan ibunya, Nora (Maribel Verdú), dan ketidakmampuannya membuktikan kalau ayahnya, Henry (Ron Livingston), tidak bersalah atas kematian Nora.

Di tengah perasaannya yang berkecamuk, Barry, dengan Speed Force-nya, kembali ke masa lalu untuk mencegah kematian Nora—meski sebelumnya Bruce Wayne alias Batman (Ben Affleck) telah memperingatkannya perihal konsekuensi. Namun, akibat intervensi dari entitas misterius, ia terjebak di versi alternatif tahun 2013 saat Jenderal Zod (Michael Shannon) datang ke Bumi untuk mencari Superman (tengok Man of Steel [2013]).

Menyadari bahwa ia telah mengubah sejarah, Barry bergabung dengan varian dirinya yang berumur 18 tahun (diperankan ganda oleh Miller) untuk mencari dua anggota Justice League lain yang eksis di dunia tersebut. Bagi kamu yang telah melihat beberapa trailer resmi The Flash, tentunya tak sulit, dong, menebak siapa dua superhero yang dimaksud?

2. Aksi yang intens, fan service, dan akting yang ciamik, epik!

Ezra Miller dan Sasha Calle dalam film The Flash (dok. DC Studios/The Flash)

Tak bisa dimungkiri, pengalaman Andy Muschietti dalam menggarap tiga film horor—salah satunya, It (2017), menjadi film horor terlaris sepanjang masa—memuluskan jalannya untuk mengkreasi sederet adegan aksi yang sarat ketegangan. Dari adegan "baby shower" di opening sampai yang paling absurd macam aksi duo The Flash menghajar pasukan Jenderal Zod, semuanya tak pernah gagal dalam membangun sensasi.

Selain aksi yang menggelegar, The Flash juga mampu memantik perasaan nostalgia lewat sejumlah fan service. Tema multiverse yang diusung memfasilitasi Christina Hodson (Bumblebee), selaku penulis naskah, untuk meniadakan batas antara satu film DC dengan film DC lainnya. Yap, percayalah, The Flash adalah film untuk semua fans DC dari berbagai generasi, entah itu penikmat film Superman era 70-an maupun fans film Batman era 90-an.

Tentu saja, dua aspek di atas tak akan lengkap tanpa penampilan gemilang dari para pemainnya. Mengulangi perannya dalam Batman (1989) dan Batman Returns (1992), Michael Keaton membuktikan dirinya masih pantas menjadi sang manusia kelelawar. Sasha Calle, meski merupakan akting perdananya di layar lebar, sukses mencuri perhatian sebagai Kara Zor-El alias Supergirl yang badass.

Namun, selaku karakter tituler, Ezra Miller adalah bintang di sini. Di luar segala kontroversi mengenai sosoknya, Miller mampu mengemban peran ganda yang berbeda 180 derajat. Baik sekuen aksi, komedi, maupun drama, semua mampu dilakoninya dengan mulus. Layak banget, deh, diberi dua jempol!

Baca Juga: 7 Film Superhero tentang Time Travel selain The Flash, Alurnya Seru!

3. Meski epik, The Flash tak terhindar dari setumpuk kelemahan

Ezra Miller dan Sasha Calle dalam film The Flash (dok. DC Studios/The Flash)

Sayang, meski unggul dari segi aksi, fan service, dan akting, The Flash sedikit tersandung dalam hal yang seharusnya menjadi unsur terpenting, yakni efek visual alias CGI. Sebagian memang sukses memanjakan mata, terutama desain persimpangan waktu tempat Barry melakukan time travel. Namun, sebagian lagi justru membuat dahi berkerut (pemakaian efek deepfake yang berlebihan membuat adegan di klimaks terasa artifisial).

Begitu pun dengan cara film ini memperlakukan karakter villain macam Jenderal Zod dan Faora-Ul (Antje Traue). Karena naskahnya terlalu fokus pada pemahaman multiverse, mereka jadi terkesan sekadar hadir untuk melengkapi cerita alias tempelan. Untungnya, minimnya sense of danger tersebut mampu ditutupi oleh, sekali lagi, pengemasan adegan aksi yang brilian.

Baca Juga: Ada Berapa Post-Credit Scene di Film The Flash?

Verified Writer

Satria Wibawa

Movies and series enthusiast. Feel free to read my reviews on Insta @satriaphile90 or Letterboxd @satriaphile. Have a wonderful day!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya