Benarkah Bisnis Restorasi Film Lawas dan Langka sedang Diminati?

- Restorasi film lawas diminati oleh subkultur sinefilia yang menganggapnya superior
- Anak muda mulai tertarik pada rilisan fisik film karena kejenuhan terhadap sistem langganan streaming
- Preservasi film secara fisik diperlukan karena media digital rawan hilang dan rusak
Beberapa tahun belakangan, makin banyak distributor film yang memperluas perannya ke ranah restorasi film lawas nan langka. Dahulu, pelakunya masih terbatas. Arrow Video, Janus Films dan Criterion adalah beberapa nama paling prominen. Disusul Kino Lorber, Shout! Factory, Vinegar Syndrome, dan Oscilloscope Laboratories.
Menariknya, kini A24 ikut-ikutan merambah sektor restorasi pada 2023. Dua film restorasi pertama mereka adalah Pi (1998) karya Darren Aronofsky dan Stop Making Sense (1984) garapan Jonathan Demme. Begitu pula dengan Letterboxd yang merilis fitur Video Store, semacam platform persewaan film-film arthouse langka. Pertanyaannya, mengapa makin banyak perusahaan yang tertarik melakukan restorasi? Apakah bisnis ini sedang berkembang pesat?
1. Film lawas dipandang superior, setidaknya di kalangan sinefil

Restorasi film makin diminati seiring dengan naiknya popularitas subkultur sinefilia. Subkultur ini diisi orang-orang yang mengaku punya minat lebih terhadap film. Bukan hanya menonton kasual untuk membunuh waktu, tetapi menyerap berbagai aspek seputar sinema termasuk konteks politik/budaya/sejarah, proses pembuatan, teori dan lain sebagainya. Subkultur inilah yang kemudian membangkitkan minat menonton film-film lawas yang diklaim superior karena relevansinya yang melampaui zaman.
Masalahnya, akses film-film itu relatif lebih sulit. Entah karena belum ada versi digitalnya, pernah dilarang tayang, rusak/hilang karena perang dan lain-lain. Dengan kenaikan permintaan tadi, unit bisnis pun melihat peluang untuk meraup untung. Tentunya dengan proses yang gak mudah dan butuh ketekunan tingkat tinggi. Setelah melakukan kurasi, pekerja harus memindai cetak negatif secara manual. Kemudian memperbaiki dan membersihkan frame yang rusak, menata ulang tata warnanya agar konsisten, serta memastikan suaranya terdengar jelas. Proses panjang ini butuh biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit.
2. Naiknya minat terhadap rilisan fisik di kalangan anak muda

Selain direstorasi dalam format digital untuk platform streaming, pelaku bisnis restorasi film juga mulai melirik rilisan fisik yang tak kalah menguntungkan. Ini seiring dengan naiknya minat anak muda (terutama di negara-negara ekonomi maju) terhadap media fisik karena kejenuhan mereka terhadap sistem langganan yang menggerus dompet. Alhasil, restorasi pun biasanya diiringi dengan perilisan ulang film dalam format piringan Blu-ray dan DVD.
Sistem langganan memang makin menjadi-jadi. Ada yang berbayar, tapi masih menampilkan iklan. Ada pula sistem geoblock karena masalah regulasi distribusi tiap negara yang berbeda-beda. Sampai waktu penayangan yang terbatas karena keterbatasan server. Dengan rilisan fisik, kamu bisa menikmati film kapan saja, tanpa restriksi di atas. Walaupun harga yang dibayar pun tak bisa dibilang murah, apalagi bagi penduduk negara berkembang yang mendang-mending ini.
3. Digitalisasi tidak cukup, preservasi film secara fisik diperlukan

Restorasi film kini tak hanya dilakukan secara digital. Ahli sepakat bahwa media fisik punya banyak keunggulan dibanding data digital. Terutama bila film tersebut memiliki cetak negatif dengan bahan seluloid. Banyak film lawas yang berhasil direstorasi karena seluloid. Ini sekaligus membuktikan ketahanan tingkat tinggi material tersebut. Tak pelak, makin banyak yang melirik pula opsi preservasi film digital ke seluloid.
Data digital memang praktis dan mudah diakses, tetapi mereka juga rawan hilang dan rusak. Entah karena serangan siber atau kerusakan server. Meski tak sebaik seluloid, piringan Blu-ray dan DVD juga bisa jadi cara mengabadikan dan menyimpan karya sinematik yang efektif. Data di kepingan Blu-ray dan DVD memang bisa hancur karena goresan dan jamur, tetapi bisa dicegah dengan penyimpanan yang benar. Beda dengan dokumen digital yang bisa hilang tanpa jejak karena satu kesalahan kecil.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu salah satu yang menyambut baik tren restorasi dan preservasi film? Namun, bisakah ia disebut fenomena global? Seperti biasa, negara-negara berkembang punya kecenderungan mengabaikan sektor seni mereka karena beberapa alasan seperti ketiadaan komitmen dan anggaran. Padahal, film lawas bisa jadi jalan mengulik sejarah dan fakta masa lalu yang tersembunyi.


















