Cara Etis Menceritakan Ulang Tragedi Nyata dalam Karya Sinematik

Kritik pedas mengiringi perilisan film horor Indonesia berbasis tragedi nyata,Vina: Sebelum 7 Hari (2024). Ini karena banyak yang menyayangkan cara bercerita sutradara dan rumah produksi yang dianggap tak etis. Walau sudah dapat persetujuan keluarga, ada banyak hal yang dianggap mengganggu dari film tersebut.
Salah satunya penyertaan adegan eksplisit serta dominasi elemen horornya yang menimbulkan kesan upaya komodifikasi dan komersialisasi belaka atas tragedi tersebut. Padahal, banyak isu sosial seperti misogini yang bisa dieksplor lebih jauh dan bakal memperdalam naskah dan menambahkan unsur edukasi.
Komodifikasi tragedi memang hal lumrah dalam bisnis hiburan. Namun, ada beberapa cara etis yang bisa dipakai untuk menghindari kesan eksploitatif tersebut, seperti berikut ini.
1. Dokumenter yang sesuai realitas, tanpa dramatisasi, simplifikasi, dan distorsi
Cara paling aman untuk menceritakan ulang sebuah tragedi adalah mengemasnya dalam bentuk dokumenter. Itu karena dokumenter secara umum merupakan kumpulan laporan dan rekaman faktual dari sebuah kejadian. Tentunya untuk membuat dokumenter yang baik, dramatisasi, simplifikasi (penyederhaan), dan distorsi (perubahan yang membuat sesuatu jadi berbeda makna) harus dihindari sebisa mungkin.
Beberapa contoh film dokumenter berbasis tragedi nyata terbaik yang pernah dirilis antara lain To Kill A Tiger (2020) dan Collective (2019). Keduanya berhasil raih nominasi Oscar karena benar-benar setia pada alur kasus yang sesungguhnya. Paling penting pula, keduanya dibuat setelah kasus benar-benar selesai sehingga tidak dibuat dengan harapan muluk untuk membantu proses penyelidikan.