Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
press conference perilisan teaser trailer dan poster film animasi Garuda di Dadaku
press conference perilisan teaser trailer dan poster film animasi Garuda di Dadaku di XXI Plaza Indonesia, Jakarta, Rabu (17/12/2025) (dok. IDN Times/Rani Asnurida)

Jakarta, IDN Times - Film animasi Garuda di Dadaku siap dirilis di bioskop pada 2026. Diproduksi oleh BASE Entertainment dan KAWI Animation, film ini cukup mencuri perhatian karena menjadi debut penyutradaraan Ronny Gani, yang pernah bekerja sebagai animator dan visual effects artist untuk film-film Marvel, seperti The Avengers (2012), Avengers: Age of Ultron (2015), Ant-Man (2015) hingga Avengers: Endgames (2019).

Meski memiliki pengalaman kerja belasan tahun di Hollywood, Ronny menegaskan bahwa film pertamanya ini tidak mengadaptasi cara kerja Hollywood. Alih-alih menitikberatkan pada teknologi yang canggih dan mahal, Ronny menjelaskan, kekuatan utama animasi ini justru terletak pada craftsmanship artistik, yaitu keahlian tim dalam menciptakan karakter, lingkungan, serta visual secara detail.

1. Sutradara tegaskan animasi Garuda di Dadaku tidak mengadaptasi cara kerja Hollywood

potret Ronny Gani di press conference perilisan teaser poster dan trailer film animasi Garuda di Dadaku (dok. IDN Times/Rani Asnurida)

Ronny Gani menegaskan, film animasi Garuda di Dadaku tidak mengadaptasi cara kerja Hollywood, meskipun ia sudah lama berkecimpung dan terlibat dalam berbagai proyek bergengsi. Hal tersebut disebabkan karena ekosistem animasi di Indonesia sangat berbeda.

“Dari prakteknya malah saya atau tim kami tidak bisa me-replicate cara kerja yang dilakukan untuk Hollywood karena memang ekosistemnya sangat berbeda, usia industrinya, dan keahliannya juga berbeda,” ujar Ronny dalam press conference di XXI Plaza Indonesia, Rabu (17/12/2025).

Oleh sebab itu, Ronny dan timnya memutuskan untuk menerapkan pendekatan yang dianggap lebih sederhana sekaligus mudah diakses, tanpa mengurangi kualitas artistik dari film ini.

2. Craftsmanship artistik jadi kekuatan utama animasi Garuda di Dadaku

press conference perilisan teaser trailer dan poster film animasi Garuda di Dadaku di XXI Plaza Indonesia, Jakarta, Rabu (17/12/2025) (dok. IDN Times/Rani Asnurida)

Ronny melanjutkan, alih-alih menitikberatkan pada teknologi yang mahal dan canggih, craftsmanship artistik atau keahlian tim dalam menciptakan karakter, lingkungan, serta visual secara detail, justru menjadi kekuatan utama film ini.

“Kita memang sangat kuat craftsmanship-nya atau secara artistiknya, itu yang kita tidak bisa negosiasi. Tapi pendekatan secara teknisnya kalau memang terlalu susah untuk dilakukan dengan menggunakan teknologi, kita cara yang lebih primitif, tapi tetap tidak mengurangi kualitas artistiknya,” lanjutnya.

Hal ini pun kemudian memungkinkan karakter non-human, seperti Gaga dan Dewi Garuda hadir dengan fantasi yang kuat, yang diharapkan bisa membawa penonton untuk berimajinasi lebih jauh.

“Animasi itu kan tidak memiliki batas, jadi kita benar-benar bisa menggodok karakter, sehingga muncul karakteristik Gaga dan Dewi Garuda, di mana hadirnya karakter non-human ini menambah aspek fantasi yang kita harapkan juga bisa membawa penonton menikmati dan berimajinasi lebih jauh ketika nonton film kita.”

3. Janjikan desain lingkungan yang detail dan terasa Indonesia banget

press conference perilisan teaser trailer dan poster film animasi Garuda di Dadaku di XXI Plaza Indonesia, Jakarta, Rabu (17/12/2025) (dok. IDN Times/Rani Asnurida)

Dengan treatment yang ia curahkan untuk film ini, Ronny pun menjanjikan desain lingkungan yang detail dan terasa familiar bagi penonton Indonesia.

“Dari teaser-nya juga udah berasa bahwa ada familiarity dari environment-nya, ada kedekatan yang bisa dirasakan dan yang kemudian itu menjadi daya kekuatan kita untuk bisa membuat film ini diterima oleh masyarakat Indonesia,” ungkapnya.

Sang sutradara menjelaskan, proses ini dimulai dengan mengambil data dari dunia nyata, yang kemudian diolah menjadi versi hiper-realistik tanpa menghilangkan esensi visualnya.

“Misalnya kita melihat lapangan bola di Indonesia, apa yang membuat itu berasa kayak GBK? Nah, tapi kita gak pluk-plukan bikin GBK secara foto copy gitu. Kita tangkap soul-nya, kita tangkap karakteristik visualnya sehingga pada saat kita tampilkan di layar on point. Sehingga penonton kayak, ‘Gue berasa banget, gue pernah ke GBK, GBK itu kayak gini,’” jelas Ronny.

Ia melanjutkan, “Padahal kalau kita bandingkan dengan foto, beda. Mungkin dari aspek bagaimana cahaya masuk ke dalam stadion, bagaimana kalau kamu duduk di kursi penonton.”

Menurut Ronny, pendekatan ini tidak hanya membuat film menjadi lebih menarik secara visual, tetapi juga relatable dan dekat dengan pengalaman penonton Indonesia.

Editorial Team