Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Real Genius (dok. Sony Pictures Classics/Real Genius)
Real Genius (dok. Sony Pictures Classics/Real Genius)

Intinya sih...

  • Real Genius (1985) adalah film yang menyuarakan pesan antiperang dengan kisah mahasiswa yang menolak proyek militer.

  • The Ascent (1977) memotret dampak perang dari perspektif penduduk desa, menolak meromantisasi patriotisme dalam film perang.

  • Daisies (1966) garapan sutradara perempuan Ceko, Věra Chytilová, mengandung makna simbolis yang merujuk pada pesan antiperang.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pesan antiperang dalam film memang bukan hal baru. Namun, harus diakui banyak yang diklaim kurang tepat dan masih terkesan meromantisasi dalam kadar tertentu. Hanya beberapa yang dianggap berhasil dan konsisten menyuarakan pesan antiperang, yakni Come and See (1984) dan Grave of the Fireflies (1988).

Aspek lain yang cukup kentara adalah fakta bahwa kebanyakan film-film tadi dibuat sutradara pria. Lantas, bisakah sutradara perempuan menjawabnya? Ternyata, jawabannya bisa kamu temukan lewat keenam rekomendasi film antiperang berikut. Tanpa harus mengekspos medan perang, pesan antikekerasan dan antikonfliknya justru merasuk sampai ke hati.

1. Real Genius (1985)

Real Genius (dok. Sony Pictures Classics/Real Genius)

Real Genius adalah film lawas yang dibintangi Val Kilmer muda. Ia didapuk jadi Chris, salah satu mahasiswa yang direkrut profesornya untuk menggarap sebuah proyek berskala nasional. Ia dipasangkan dengan beberapa pemuda lain, termasuk 1 bocah SMA genius.

Namun, saat tahu kalau penemuan mereka bakal dipakai untuk kepentingan militer, Chris dan kawan-kawan serentak keberatan dan sepakat berkonspirasi menyabotase proyek tersebut. Real Genius adalah salah satu film tersukses sutradara Martha Coolidge sejauh ini.

2. The Ascent (1977)

The Ascent (dok. Criterion/The Ascent

The Ascent adalah film yang dibuat Larisa Shepitko dan cukup konsisten pesan antiperangnya. Ia memilih memotret dampak perang dari perspektif penduduk desa tempat 2 pasukan gerilya Soviet, Rybak (Vladimir Gostyukhin) dan Sotnikov (Boris Plotnikov) terdampar setelah terpisah dari satuannya dan kelaparan.

Bersama mereka, penonton dipaksa menyaksikan kesengsaraan penduduk desa yang sengaja disertakannya sebagai bukti betapa luas dan masifnya dampak perang. Shepitko juga menolak meromantisasi Rybak dan Sotnikov yang biasanya dipotret bak patriot bahkan harapan di film-film perang pada umumnya. Mereka dipotret lengkap dengan perasaan bersalah, tak tahu arah, dan mengalami trauma.

3. Daisies (1966)

Daisies (dok. Criterion/Daisies)

Tidak memotret peperangan secara gamblang, tetapi Daisies garapan sutradara perempuan Ceko, Věra Chytilová, diwarnai makna simbolis yang merujuk pada pesan antiperang. Dimulai dengan footage pesawat yang menjatuhkan bom, film kemudian beralih ke sosok dua perempuan bernama Marie I (Jitka Cerhová) dan Marie II (Ivana Karbanová).

Selama film bergulir, mereka melalukan berbagai aktivitas yang terasa mengganggu. Mulai konsumsi makanan berlebih sampai sosok pria paruh baya yang tamak, tapi punya kuasa.

4. Dogfight (1991)

Dogfight (dok. Warner Bros/Dogfight)

Dogfight memang dikemas sebagai film romcom klasik. Dua muda-mudi tak sengaja bertemu dan kencan semalaman di jalanan kota. Namun, fakta bahwa salah satu dari mereka adalah tentara yang akan berdinas di Vietnam memungkinkan Nancy Savoca menyelipkan sentimen antiperang di dalamnya.

Beberapa adegan menyiratkan pesan yang dimaksud, mulai dari adu argumen karena keduanya punya pandangan berbeda soal kekerasan dalam penyelesaian masalah, perubahan perspektif yang terjadi pada si tentara yang selama ini besar di lingkungan yang misoginis dan permisif terhadap konflik, sampai adegan akhir yang menyiratkan betapa sia-sianya perang.

5. In the Land of Brothers (2023)

In the Land of Brothers (dok. Alpha Violet/In the Land of Brothers)

In the Land of Brothers juga memotret dampak perang tanpa harus menyuguhimu adegan kekerasan di medan pertempuran. Raha Amirfazli dan Alireza Ghasemi memilih untuk memotret trauma perang lewat pengalaman warga Afghanistan yang mengungsi ke Iran karena perang. Dianggap warga kelas dua yang bisa dengan mudah dieksploitasi sampai dikirim jadi tentara ke luar negeri dengan iming-iming dapat status kewarganegaraan adalah beberapa isu yang disenggol dalam film berdurasi 95 menit itu.

6. Track 143 (2014)

Track 143 (dok. Sevenartpedia/Track 143)

Narges Abyar dengan gamblang mengkritik perang lewat film Track 143. Ia memotret pergumulan batin seorang ibu yang tiba-tiba dapat kabar kalau putranya mendaftarkan diri jadi tentara dalam perang Iran-Irak tahun 1980-an. Hatinya hancur berkeping-keping ketika operasi yang dilancarkan Iran dan melibatkan putranya gagal. Putra tetangganya dikonfirmasi tewas, tetapi nasib putranya sendiri masih jadi misteri.

Tak ada yang diuntungkan dari perang. Namun, gak semua film bisa memotret dengan konsisten sentiman itu. Terbukti beberapa film yang mengeklaim antiperang justru terjebak dalam upaya romantisasi atau kalau kata François Truffaut, yang terjadi justru upaya sanitasi terhadap konflik berdarah itu. Namun, bolehlah keenam film di atas dikecualikan. Kuncinya ada di keputusan sineas-sineas perempuan di atas untuk tak mengekspos medan perang secara langsung, sehingga kesan glorifikasi nampaknya berhasil diminalisir.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team