Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
adegan dalam film The History of Sound. (dok. Film4/The History of Sound)
adegan dalam film The History of Sound. (dok. Film4/The History of Sound)

Intinya sih...

  • Cannes Film Festival 2025 menimbulkan antisipasi global
  • Queer Palm, penghargaan independen untuk film LGBTQ+, menjadi sorotan utama
  • Kandidat kuat peraih Queer Palm termasuk karya-karya yang berani dan menggugah

Menjelang digelarnya Cannes Film Festival 2025 pada 13–24 Mei 2025, para pencinta film di seluruh dunia mulai berspekulasi, siapa yang akan membawa pulang piala bergengsi Palme d'Or tahun ini? Namun, di balik sorotan utama tersebut, setiap tahunnya ada satu penghargaan lain yang tak kalah dinanti, terutama oleh komunitas queer dan para penikmat sinema progresif, yaitu Queer Palm.

Queer Palm merupakan penghargaan independen yang diberikan sejak 2010 kepada film-film dengan tema LGBTQ+, perspektif feminis, atau yang menantang norma gender. Dipilih oleh juri internasional dari berbagai seksi Cannes—mulai dari In Competition hingga Directors' Fortnight—penghargaan ini telah mengangkat karya-karya seperti Portrait of a Lady on Fire dan Joyland ke panggung global. Meski belum menjadi bagian resmi dari festival, Queer Palm tetap menjadi simbol penting bagi keberagaman dalam sinema.

Tahun ini, daftar kandidat Queer Palm dipenuhi oleh karya-karya yang berani dan menggugah. Penasaran apa saja? Dari belasan judul yang masuk, berikut tujuh film yang digadang-gadang menjadi calon kuat peraih Queer Palm di Cannes Film Festival 2025!

1. Alpha (2025)

adegan dalam film Alpha. (dok. Petit Film/Alpha)

Setelah sukses menyabet Palme d'Or lewat Titane (2021), sineas perempuan asal Prancis, Julia Ducournau, kembali lewat karya terbarunya, Alpha. Film ini sempat nyaris tak masuk dalam kompetisi utama Cannes karena disebut “terlalu membelah pendapat” di kalangan kurator festival. Namun, dengan reputasi besar yang melekat pada nama Ducournau, panitia akhirnya mengabulkan keinginannya untuk bersaing di lini utama.

Alpha digadang-gadang sebagai karya paling personal dan emosional dari Ducournau sejauh ini. Berlatar di kota fiktif yang terinspirasi New York era 1980-an, film ini mengikuti kisah Alpha, gadis 11 tahun yang hidup di tengah bayang-bayang epidemi AIDS global. Ketika salah satu orang tuanya jatuh sakit, Alpha dipaksa menghadapi kesedihan dan ketakutan akan kematian untuk pertama kalinya.

2. Enzo (2025)

adegan dalam film Enzo. (dok. France 3 Cinéma/Enzo)

Enzo merupakan film terakhir dari Laurent Cantet, sutradara Prancis peraih Palme d’Or di Cannes 2008 yang tutup usia tahun lalu. Diselesaikan oleh sahabat sekaligus kolaborator lamanya, Robin Campillo, Enzo dijadwalkan menjadi pembuka sesi Directors’ Fortnight di Cannes 2025. Film ini terasa istimewa karena tak hanya menjadi penutup perjalanan Cantet, tetapi juga merayakan kolaborasi mereka yang terjalin sejak era sekolah film.

Film ini mengangkat kisah Enzo (Eloy Pohu), remaja 16 tahun yang magang sebagai tukang batu di La Ciotat. Dibesarkan dalam keluarga borjuis yang menuntutnya kuliah, Enzo justru memilih jalur berbeda yang lebih membebaskannya. Dalam kesehariannya di lokasi pembangunan, ia bertemu Vlad (Maksym Slivinskyi), pekerja asal Ukraina yang membuka cakrawala baru dalam hidupnya.

3. The History of Sound (2025)

adegan dalam film The History of Sound. (dok. Film4/The History of Sound)

Film yang juga dijagokan untuk membawa Queer Palm di Cannes 2025 datang dari The History of Sound, karya sutradara asal Afrika Selatan, Oliver Hermanus. Hermanus sendiri bukanlah nama baru di dunia perfilman internasional. Sebelum ini, karyanya yang berjudul Living (2022), remake dari film Ikiru, sukses mengantarkan Bill Nighy meraih nominasi Oscar untuk Best Actor.

Berdasarkan cerpen karya Ben Shattuck, The History of Sound adalah drama romantis berlatar Perang Dunia I yang mengangkat kisah dua pria, Lionel dan David. Diperankan oleh Paul Mescal dan Josh O'Connor, keduanya melakukan perjalanan melintasi pedesaan New England untuk merekam musik rakyat dan sejarah lisan masyarakat Amerika. Di tengah tugas tersebut, tumbuhlah hubungan emosional yang perlahan berkembang menjadi cinta.

4. The Little Sister (2025)

adegan dalam film The Little Sister. (dok. MK2 Films/The Little Sister)

Diangkat dari novel karya Fatima Daas, The Little Sister menyorot pergulatan batin seorang remaja perempuan keturunan Aljazair di pinggiran Paris. Ini adalah karya ketiga aktris sekaligus sutradara berbakat Hafsia Herzi yang untuk pertama kalinya menembus kompetisi resmi Palme d'Or. Setelah sukses dengan film-film sebelumnya, You Deserve a Lover dan Good Mother, langkah Herzi ke panggung utama Cannes ini tentu patut dinanti.

The Little Sister berpusat pada Fatima (Nadia Melliti), anak bungsu yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Ia tumbuh dalam keluarga Muslim yang penuh kasih, tapi mulai merasa terbelah ketika ia pindah ke Paris dan menemukan ketertarikan pada sesama perempuan. Perjalanan Fatima untuk memahami dirinya memicu konflik emosional antara nilai-nilai keluarga, keimanan, dan identitas seksual yang baru ia sadari.

5. The Mysterious Gaze of the Flamingo (2025)

adegan dalam film The Mysterious Gaze of the Flamingo. (dok. Quijote Films/The Mysterious Gaze of the Flamingo)

Sineas asal Chile, Diego Céspedes, pun tak mau kalah dalam meramaikan persaingan film LGBTQ+ di Cannes 2025 lewat debut film panjangnya, The Mysterious Gaze of the Flamingo. Tayang di segmen Un Certain Regard, film ini memadukan nuansa Western modern dengan kisah coming of age yang menyayat hati. Di sini, Céspedes menghadirkan potret keluarga queer yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan stigma sosial dalam latar 1980-an.

Kisahnya mengikuti Lidia, gadis 11 tahun yang tumbuh dalam keluarga penuh cinta tapi ditolak oleh lingkungan sekitar. Ketika sebuah penyakit misterius mulai menyebar—konon berasal dari tatapan cinta antarpria—keluarganya menjadi kambing hitam. Dalam dunia yang keras dan penuh prasangka, Lidia menapaki jalan balas dendam, tapi justru menemukan makna baru tentang cinta dan kekuatan.

6. Pillion (2025)

adegan dalam film Pillion. (dok. Element Pictures/Pillion)

Pillion mempertemukan Alexander Skarsgård dengan bintang Harry Potter, Harry Melling, dalam kisah romansa kinky yang penuh gejolak dan pencarian jati diri. Diangkat dari novel Box Hill karya Adam Mars-Jones, film ini mengikuti Colin (Melling), pria lugu yang hidupnya stagnan hingga bertemu Ray (Skarsgård), pemimpin klub motor yang karismatik dan penuh misteri. Ray lalu menjadikan Colin sebagai submisifnya, serta menyeretnya ke dalam dunia biker queer yang penuh warna dan aturan unik.

Namun, dalam hubungan yang penuh aturan dan dinamika kekuasaan itu, Colin menemukan kebebasan yang justru membuatnya mempertanyakan segalanya. Apakah ia benar-benar menemukan jati dirinya? Ataukah ia hanya berpindah dari satu bentuk pengekangan ke penjara lain yang lebih gelap?

7. A Useful Ghost (2025)

adegan dalam film A Useful Ghost. (dok. 185 Films/A Useful Ghost)

Terakhir, tetapi juga dijagokan sebagai salah satu kandidat kuat peraih Queer Palm di Cannes 2025 yaitu A Useful Ghost dari Thailand. Film debut panjang karya Ratchapoom Boonbunchachoke ini mengusung kisah cinta tak biasa antara manusia dan hantu yang menghuni vacuum cleaner. Kedengarannya aneh, tapi justru keanehan itu yang membungkus metafora tentang eksplorasi identitas queer yang diusungnya.

Cerita berpusat pada March (Most Witsarut), pria yang masih berkabung atas kematian istrinya, Nat (Davika Hoorne), akibat polusi debu. Tanpa diduga, roh Nat kembali dan "menetap" dalam alat pembersih rumah tangga. Meski hubungan mereka menjelma jadi bentuk romansa yang unik, keluarga March tak serta-merta menerima kehadiran Nat, terutama setelah pengalaman buruk dengan hantu lain di pabrik keluarga mereka.

Deretan film calon peraih Queer Palm tahun ini menunjukkan bahwa sinema queer tak pernah kehilangan kekuatannya dalam menyuarakan keberagaman. Mulai dari drama personal yang menyentuh, hingga kisah fantasi absurd yang sarat makna, semuanya hadir dengan perspektif yang segar dan menggugah. Siapa pun pemenangnya kelak, yang pasti perjuangan mereka untuk mewakili suara-suara yang jarang terdengar sudah patut diapresiasi sejak awal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team