Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Companion (dok. Warner Bros/Companion)
Companion (dok. Warner Bros/Companion)

Companion (2025) jadi salah satu film yang mencuri perhatian pada awal 2025. Premis film thriller garapan Drew Hancock ini sebenarnya tidak benar-benar baru apalagi segar. Ia berkutat pada teknologi kecerdasan buatan yang berakhir menyimpang karena penyalahgunaan atau kegagalan fungsi. Premis ini sudah dipakai dalam berbagai karya sinematik seperti 2001: A Space Odyssey (1968), M3GAN (2022), dan Black Mirror (2011-2023). 

Namun, Companion jadi spesial karena fokus pada satu fenomena yang jadi sorotan beberapa tahun belakangan, yaitu kesepian epidemik pada pria (male loneliness epidemic). Apa itu dan bagaimana itu berpengaruh besar terhadap penerimaan penonton terhadap film tersebut? 

1. Berbagai derajat kesepian pada pria cukup sering diangkat dalam film

Companion (dok. Warner Bros/Companion)

Companion awalnya mengikuti hubungan Iris (Sophie Thatcher), sesosok robot perempuan dengan klien prianya yang bernama Josh (Jack Quaid). Persona Josh awalnya baik, tipikal nice guy pada umumnya. Sampai akhirnya bendera merah Josh terkuak saat mereka berlibur ke sebuah vila.

Sifat asli Josh ternyata adalah gambaran dari keinginan seorang pria merebut kembali dominasi yang tidak bisa ia dapat lewat interaksi dengan sesama manusia. Fakta bahwa Iris diprogram untuk menuruti keinginannya dan menyesuaikan kebutuhannya memperkuat indikasi bahwa ia mengalami kerapuhan dan kesepian yang terpendam. 

Selain problem etika soal kecerdasan buatan, isu male loneliness atau kesepian pada pria yang jadi masalah utama Josh juga bukan isu baru dalam sejarah perfilman. Her (2013), Lars and the Real Girl (2007), The Whale (2022), The Banshees of Inisherin (2022), dan Moon (2009) adalah beberapa contohnya. Derajat kesepian mereka berbeda-beda dan tak semua berakhir dramatis, tetapi cukup membuktikan pola tertentu. Dalam artikelnya, Morgan Woodfall dari The Guardian Glasgow melihat bahwa dalam sinema, isu kesepian pada karakter pria di film-film kebanyakan tak terselesaikan. 

2. Pria lebih sulit menyelesaikan isu kesepian dibanding perempuan

Companion (dok. Warner Bros/Companion)

Ide-ide maskulinitas toksik yang mendorong laki-laki untuk selalu self-reliance alias mandiri sampai ketidakbiasaan mereka untuk mengekspresikan diri jadi pemicu kesepian kronis tersebut. Itu yang kemudian memotivasi pria melakukan hal-hal ekstrem dan destruktif untuk menyelesaikan kesepian mereka. Seperti Theodore yang jadi dependen secara emosional terhadap program kecerdasan buatan di Her (2013), Lars yang percaya bahwa boneka perempuan yang dibelinya di toko daring adalah kekasihnya dalam Lars and the Real Girl (2007), dan keputusan Charlie dalamThe Whale untuk mengisolasi diri.

Begitu juga dengan alasan bunuh diri Dominic dalam The Banshees of Inisherin yang dipercaya berkaitan dengan KDRT dari sang ayah dan cintanya terhadap Siobhan yang bertepuk sebelah tangan. Beberapa contoh tadi akan cukup kontras bila dibandingkan dengan kesepian yang dialami tokoh perempuan dalam film.

Siobhan dalam The Banshees of Inisherin, misalnya, menjadikan pindah ke kota baru sebagai resolusi dari perasaan tak puas dan sepi yang dirasakannya. Christine dari Lady Bird menelepon sang ibu dan mengakui rasa homesick-nya saat ia kesepian di New York. Dua protagonis utama dalam Portrait of a Lady On Fire sama-sama kesepian dan akhirnya menemukan obat lewat jalinan koneksi. Resolusi-resolusi ini yang mirisnya jarang dilakukan pria saat merasa kesepian. 

3. Male loneliness ideal dipasangkan dengan pesan anti-misogini dan female rage

Companion (dok. Warner Bros/Companion)

Argumen itu didukung riset Botto & Gottzén berjudul "Swallowing and Spitting Out the Red Pill: Young men, Vulnerability, and Radicalization Pathways in the Manosphere" dalam Journal of Gender Studies. Mereka menemukan kalau para pria (terutama yang mengindentifikasi diri sebagai heteroseksual) yang merasa rapuh karena tak bisa mengikuti standar maskulinitas mainstream (cenderung toksik) punya tendensi jadi penganut ideologi the red pill (TPR). Istilah TPR muncul pertama kali dalam film The Matrix yang menganalogikan menelan kapsul merah sebagai komitmen seseorang memercayai ada yang tak beres dengan realitas kita. 

Istilah menelan kapsul merah kemudian dipakai para pemikir dan pemengaruh beraliran supremasi pria untuk menyakinkan pengikutnya tentang hal-hal yang mereka klaim merusak kestabilan, seperti feminisme. Dalam pandangan mereka, kesadaran perempuan akan hak-haknya adalah ancaman. Ini karena pria biasa hidup dengan privilese berupa kemudahan untuk kabur atau dimaafkan atas kesalahan mereka. Belum lagi asumsi bahwa pria berpotensi jadi korban dari sistem yang hanya menguntungkan beberapa kelompok saja, yakni perempuan dan love interest mereka, yakni pria dari kelas sosial dan ekonomi tinggi. Berkat asumsi-asumsi tadi, pria-pria dengan isu kesepian dan insekuritas cenderung memupuk amarah dan kebencian terhadap perempuan alias misogini.

Gak heran kalau Companion jadi film favorit 2025 banyak orang. Ia berhasil mengangkat isu male loneliness dan maskulinitas rapuh sebagai bahan untuk mengkritik misogini sekaligus menjelaskan motif female rage. Terlepas dari plot hole dan klise di dalamnya, Companion sukses membaca selera pasar masa kini: film horor/thriller dengan komentar sosial.  

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team