10 Film Representasi Akurat Kekejaman Represi Politik

- Cairo Station (1958): Youssef Chanine menyoroti perjuangan kaum miskin dan kelas pekerja di Mesir.
- A Bullet for the General (1966): Damiano Damiani menggambarkan konflik antara Italia Selatan dan Italia Utara.
- If.... (1968): Lindsay Anderson menyuarakan kehidupan kelas pekerja dan realisme sosial bebas dari propaganda.
Film menjadi salah satu media favorit yang digunakan untuk merefleksikan gejolak sosial dan kekerasan politik yang terjadi. Mayoritas para pegiat film mengeksplorasi tema-tema sensitif dan cenderung ekstrem seperti perang, kudeta militer, hingga pembantaian demi mencapai tujuan politik.
Film juga digunakan untuk menyuarakan aspirasi sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan politik. Para pegiat film dari berbagai negara bereaksi dengan membuat film-film berikut ini. Tidak hanya sebagai karya seni, tetapi juga merupakan bagian dari perjuangan itu sendiri.
Bisa kamu jadikan referensi tontonan, ini beberapa rekomendasi film representasi akurat kekejaman represi politik. Apakah relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini?
1. Cairo Station (1958)

Qinawi (Youssef Chanine), seorang penjual koran tunadaksa di stasiun terobsesi pada gadis penjual minuman bernama Hanuma (Hind Rostom). Ketika Hanuma yang sudah bertunangan menolaknya, obsesi Qinawi semakin menjadi hingga memicu ketegangan di stasiun
Tema perjuangan kaum miskin dalam melawan pengusaha dan pemerintah korup yang diusung oleh Youssef Chanine terbilang ekstrem pada masanya. Tidak berhenti sampai di situ, Chanine turut menjadikan Cairo Station sebagai representasi kaum perempuan sekaligus menyoroti kelas pekerja di Mesir yang kerap diperlakukan layaknya warga negara kelas dua.
Cairo Station dan karya-karya Youssef Chanine lainnya menjadi penyulut semangat bagi para pelaku sinema Timur Tengah dalam menggunakan film sebagai media menyampaikan aspirasi masyarakat.
2. A Bullet for the General (1966)

Seorang bandit bernama El Chucho (Gian Maria Volonté) berniat menjual senjata hasil rampokannya pada Jenderal Elias (Jaime Fernández) untuk menyokong pasukan revolusionernya. Chucho menerima bantuan dari orang Amerika yang pandai bernegosiasi, Bill Tate (Lou Castel), tanpa menyadari niatnya yang sebenarnya.
Popularitas genre spaghetti western di industri Italia melejit pada 1960-an berkat A Fistful of Dollars (1964) besutan Sergio Leone meledak di pasaran. Banyak yang mengikuti jejak Leone, termasuk sutradara Damiano Damiani. A Bullet for the General merupakan alegori dari konflik antara Italia Selatan yang miskin dan Italia Utara yang terindustrialisasi dalam balutan aksi kekerasan khas film Westren.
3. If.... (1968)

Di sebuah sekolah asrama laki-laki Inggris, kekuasaan berada di tangan para guru serta murid senior yang kejam dan bengis. Muak dengan sistem hierarki yang ada, Mick Travis (Malcolm McDowell) dan ketiga kawannya mengambil tindakan untuk menghadirkan suasana asrama yang kondusif.
Sebagai salah satu pencetus Free Cinema Movement dan British New Wave, Lindsay Anderson lantang menyuarakan kehidupan kelas pekerja dan realisme sosial yang bebas dari propaganda. Dalam film terbaik di sepanjang karir penyutradaraannya, If…. merupakan sebuah paralel dengan pergolakan politik yang terjadi di dunia pada masanya dalam kisah surealis yang anarkis.
4. Z (1969)

Seorang jaksa mencium kejanggalan dalam kasus kecelakaan yang menewaskan seorang politisi oposisi. Gelagat aneh para saksi semakin menegaskan kecurigaannya, sehingga membuatnya bertekad mengungkap konspirasi yang menyeret sejumlah aparatur negara.
Film besutan sutradara Costa-Gavras ini merupakan dramatisasi pembunuhan faksi komunis, Grigoris Lambrakis, pada 1963. Iklim politik yang ditampilkan dalam Z secara gamblang menggambarkan situasi kediktatoran militer Yunani (1967—1974) yang menjadikan kekerasan dan propaganda sebagai penggerak pemerintahan.
5. The Spook Who Sat by the Door (1973)

Dan Freeman (Lawrence Cook), merupakan satu dari banyaknya pria kulit hitam yang direkrut CIA untuk mengangkat citra keberagamannya. Tidak seperti rekrutan lain yang puas dengan keuntungan yang didapat, Freeman justru menggunakan pelatihannya di CIA untuk menyulut revolusi kaum kulit hitam.
Disadur dari novel karya Sam Greenlee, film garapan sutradara Ivan Dixon ini sempat hilang dari peredaran. Muatan politik yang terlalu sensitif, penyitaan salinan film, hingga intimidasi yang dialami para pemilik bioskop dari pihak berwajib menjadi pemicunya. The Spook Who Sat by the Door baru tersedia di awal 1990-an usai direstorasi oleh Library of Congress dan The Film Foundation.
6. I Am Afraid (1977)

Seorang detektif polisi tua, Ludovico Graziano (Gian Maria Volonté), ditugaskan sebagai supir sekaligus pengawal Hakim Cancedda (Erland Josephson) yang sedang menyelidiki kasus kematian janggal warga sipil. Ketika sang hakim dibunuh, Graziano terjerat dalam jaringan intrik politik yang mengancam nyawanya.
Bersama penulis naskah Nicola Badalucco, sutradara Damiano Damiani melahirkan sebuah film thriller yang kompleks dan pesimistis. Keduanya sukses menggambarkan ketegangan sosial dan terorisme politik selama Anni di piombo atau Years of Lead berlangsung dari akhir 1960-an hingga awal 1980-an yang terjadi di Italia.
7. Operation Ogre (1979)

Diktator Francisco Franco telah berkuasa di Spanyol sejak 1939. Tak ingin rezim jatuh pada tangan penerusnya, Laksamana Carrero Blanco, kelompok teroris ETA nekat menghabisi nyawanya demi mencegah kediktatoran berlanjut pada 1973.
Gillo Pontecorvo menggunakan film sebagai media untuk menyuarakan dampak penggunaan kekerasan politik. Diangkat dari peristiwa nyata, Operation Ogre kental akan unsur kekerasan dan diskusi pesimistis akan status demokrasi Spanyol yang rapuh pasca lengsernya rezim Franco.
8. Seven Days in January (1979)

Tidak puas dengan lengsernya kekuasaan diktator Francisco Franco, kelompok sayap kanan menyerang kantor serikat pekerja yang menewaskan lima pengacara buruh. Berupaya menggagalkan transisi Spanyol ke demokrasi dan kembali ke pemerintahan fasis.
Rezim Franco yang dikenal kejam dan brutal menorehkan luka bagi Spanyol. Salah satunya Pembantaian Atocha yang terjadi pada tahun 1977. Sutradara Juan Antonio Bardem menggunakan pendekatan yang unik dimana ia mengambil sudut pandang dari seorang pemuda dari keluarga fasis yang terlibat dalam aksi bengis tersebut dan harus menanggung konsekuensinya usai serangan tersebut gagal total.
9. Born in Flames (1983)

Berlatar di New York pada masa depan, tepatnya satu dekade usai revolusi sosial-demokratis, sejumlah kelompok wanita yang terpinggirkan karena ras dan seksualitas mereka bersatu demi menuntut perdamaian yang tidak pernah mereka cicipi.
Modal yang terbatas bukan menjadi penghalang bagi Lizzie Borden untuk menggarap Born in Flames. Produksi yang berlangsung selama bertahun-tahun dan para aktornya yang amatir justru menjadi nyawa film ini. Membuat sejumlah gagasan politik hingga isu feminisme yang diusung terasa nyata.
10. Macho Dancer (1988)

Noel (Daniel Fernando) yang patah hati usai ditinggalkan oleh kekasihnya memilih mengadu nasib ke Manila. Dengan bantuan seorang call boy populer, ia menjadi seorang penari di sebuah klub seks, di mana prostitusi, polisi korup, dan mafia kekuasaan berkumpul setiap malamnya.
Banyak yang meyakini jika kematian sang sutradara, Lino Brocka, dalam kecelakaan mobil pada 1991 ada sangkut pautnya degan kediktatoran Ferdinand Marcos. Bukan tanpa sebab, Brocka yang terang-terangan datang dari komunitas queer ini mengecam kemunafikan pemerintah dan korupsi polisi yang merajalela di bawah kekuasaannya. Menuai kontroversi, Macho Dancer dicekal dan dilarang tayang di Filipina.
Film telah lama dikenal sebagai senjata andalan dalam menyebarluaskan kesadaran sekaligus melawan kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Rekomendasi film representasi akurat kekejaman represi politik di atas dapat kamu tonton secara gratis di YouTube.