Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Film Warfare Rilisan A24 Banjir Hujatan, padahal Baru Trailer

film Warfare (dok. A24/Warfare)
film Warfare (dok. A24/Warfare)

A24 baru saja merilis trailer film terbaru mereka yang diberi judul Warfare. Sesuai judulnya, film ini bergenre aksi dan berlatar Perang Irak. Disadur dari kisah nyata seorang veteran perang bernama Ray Mendoza yang juga tercatat jadi sutradara, film ini banjir hujatan, terutama di media sosial X/Twitter. Nama besar Alex Garland (Civil War, Ex Machina, Men, Annihilation) pun tak membantu. 

Memang tak sedikit yang menanti, sih. Selain karena Garland punya basis penggemar yang kuat, beberapa aktor yang sedang naik daun, seperti Joseph Quinn, Will Poulter, Charles Melton, dan D'Pharaoh Woon-A-Tai terkonfirmasi terlibat.

Lantas, mengapa Warfare terasa traumatik bahkan memuakkan buat sebagian penonton? Mari ulik lebih jauh. 

1. Polanya mirip film American Sniper (2014)

cuplikan film American Sniper (dok. Warner Bros/American Sniper)
cuplikan film American Sniper (dok. Warner Bros/American Sniper)

Setelah melihat trailer berdurasi 2 menit 25 detik yang dilepas A24 di kanal YouTube resmi mereka, kamu pasti setuju kalau Warfare punya banyak kemiripan dengan film rilisan Warner Bros berjudul American Sniper (2014). Keduanya merupakan adaptasi memoar veteran Perang Irak alias ditulis dari sudut pandang pasukan Amerika Serikat. 

Dari sini saja, film sudah terdengar problematik. Sebagai konteks, Perang Irak (2003—2011) bermula dari invasi Amerika Serikat yang dikomandoi George W. Bush. Ia menggunakan dalih operasi militer untuk menghancurkan senjata pemusnah massal yang dipercaya berada di Irak dan bisa disalahgunakan oleh rezim diktator Saddam Hussein.

Pada 2004, Amerika Serikat gagal membuktikan keberadaan senjata tersebut, tetapi perang tak bisa selesai begitu saja. Masalah dan isu baru muncul sebagai efek domino dari invasi tersebut dan kontak senjata pun berlangsung selama kurang lebih 8 tahun. Gak heran kalau menulis cerita dari sudut pandang invader seperti Warfare dan American Sniper bikin banyak orang mendidih. 

2. Sarat unsur white savior complex

cuplikan film Warfare (dok. A24/Warfare)
cuplikan film Warfare (dok. A24/Warfare)

Keputusan sineas Hollywood membuat film dengan perspektif invader sebenarnya gak mengejutkan. Ini berkaitan erat dengan white savior complex, alias tendensi orang kulit putih mencoba menolong atau menyelamatkan orang di luar komunitasnya. Dalam kasus Perang Irak dan Warfare, pasukan Amerika Serikat yang didominasi orang kulit putih yakin bahwa mereka mengemban misi menyelamatkan dunia dari potensi kehancuran, sekaligus membebaskan rakyat sipil Irak dari rezim Saddam Hussein. 

Nyatanya, yang mereka lakukan justru menghancurkan seluruh tatanan masyarakat Irak yang sudah ada. Bukannya menolong, mereka merenggut hak dan penghidupan rakyat sipil begitu saja. Beberapa film berhasil menyenggol isu tersebut seperti Buried (2010) dan Sand Castle (2017) meski hanya sepenggal.

Tidak dengan American Sniper yang justru mendemonisasi warga sipil, seolah mereka tak punya hak untuk menuntut atas kemalangan yang bermula dari kedatangan pasukan Amerika Serikat ke negara mereka. Dengan kemiripan yang cukup tinggi, orang pun meragukan Warfare bakal bebas keberpihakan ketika membahas Perang Irak

Ini juga bisa dilihat sebagai warisan kolonial, yakni ketika perspektif orang kulit putih masih mendominasi media massa dan produk budaya kita. Bukankah Perang Irak akan lebih proporsional bila diceritakan dari sudut pandang rakyat sipil? 

3. Diragukan bakal membawa pesan antiperang

cuplikan film Warfare (dok. A24/Warfare)
cuplikan film Warfare (dok. A24/Warfare)

Warfare juga punya potensi jadi satu dari sekian banyak film yang justru meromantisasi perang. Ada satu kutipan menarik dari sineas Prancis, François Truffaut. "Tidak ada yang namanya film antiperang," ujarnya. Kalimat ini jadi perdebatan sengit karena bisa diinterpretasikan bahwa semua film perang semengerikan apapun itu tak akan bisa lepas dari unsur romantisasi.

Bahkan film-film seperti Paths of Glory (1954) dan Full Metal Jacket (1987) yang melegenda dan berusaha memotret kengerian perang justru dianggap memikat anak muda untuk berpikir sebaliknya. Sejujurnya amat sulit menemukan film yang benar-benar layak dapat label antiperang.

Tak sedikit yang masih terjebak dalam ambiguitas. Terutama dengan memotret perang sebagai kontestasi kejahatan dan kebaikan serta gagal mengekspos dampak perang secara keseluruhan termasuk terhadap rakyat sipil dan lingkungan. Kebanyakan dampaknya hanya ditampakkan secara parsial sesuai kebutuhan dan perspektif sempit lakonnya.

Hujatan yang mengiringi perilisan trailer film Warfare adalah bukti kalau mereka gagal menciptakan impresi positif. Namun, kita sebenarnya belum tahu apa agenda Garland dan Mendoza lewat Warfare. Siapa tahu mereka menyiapkan kejutan? Jawabannya baru bisa kita temukan saat filmnya tayang tahun depan. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us