5 Film yang Jelas Dibuat Hanya Demi Menang Oscar, Tertarik Nonton?

Intinya sih...
Maestro (2023) adalah film ambisius yang terasa dibuat hanya untuk meraih Oscar, meski dipuji secara teknis dan emosional.
The Whale (2023) eksploitasi penderitaan karakter utamanya demi simpati juri Oscar, membuatnya terasa hambar dan menjual penderitaan.
Oppenheimer (2023) terasa sebagai upaya besar-besaran untuk memancing Oscar ketimbang menjelajahi sisi manusia dari sang ilmuwan.
Tak semua film besar dibuat untuk menyentuh hati penonton atau menyampaikan pesan yang mendalam. Ada juga film-film yang sejak awal terasa dibuat khusus untuk meraih perhatian di musim penghargaan, terutama Oscar. Mereka punya semua bahannya yaitu aktor kelas A, kisah nyata, tema berat, dan sinematografi elegan.
Sayangnya, begitu ditonton justru terasa kosong, dibuat-buat, atau terlalu ngotot ingin terlihat penting. Film-film semacam ini sering dijuluki Oscar bait atau karya yang sengaja dirancang agar sesuai selera juri Academy Awards, meskipun kualitas ceritanya belum tentu kuat.
Beberapa di antaranya memang berhasil menyabet piala, sementara yang lain justru mendapat kritik karena lebih sibuk memburu pujian daripada menyajikan pengalaman sinematik yang utuh. Berikut lima contoh film yang terlalu terang-terangan mengejar Oscar sampai melupakan substansi.
1. Maestro (2023)
Maestro adalah proyek penuh ambisi yang digarap Bradley Cooper selama delapan tahun. Ia tidak hanya menyutradarai, tetapi juga menulis, memproduksi, dan membintangi film biografi tentang Leonard Bernstein ini. Visualnya indah, aktingnya kuat, dan niatnya tampak tulus tapi sulit untuk tidak merasakan aroma Oscar bait yang sangat kental dalam setiap adegannya.
Meski Cooper berhasil menunjukkan totalitasnya, tetap terasa bahwa tujuan utama film ini adalah mencetak prestasi di musim penghargaan. Sayangnya, walaupun dipuji secara teknis dan emosional, Maestro gagal mendapatkan pengakuan besar di Oscar. Ini menjadi contoh klasik film yang terlalu fokus meraih piala hingga melupakan bagaimana membuat penonton benar-benar terhubung.
2. The Whale (2023)
Brendan Fraser tampil sangat memukau dalam The Whale, membuat banyak orang terharu dan memujinya sebagai comeback paling menyentuh di Hollywood. Namun, jika dilihat lebih dekat, film ini terasa seperti eksploitasi terhadap penderitaan karakter utamanya demi menarik simpati juri Oscar.
Dengan narasi yang klise dan penyampaian yang terkesan menghakimi, sutradara Darren Aronofsky tampak lebih tertarik memanipulasi emosi penonton daripada memberi kedalaman cerita. Meski Fraser membawa emosi yang tulus, filmnya sendiri terasa hambar dan menjual penderitaan, bukan menyuarakan empati.
Sulit mengabaikan kesan bahwa proyek ini dibuat semata-mata untuk mengantar Fraser menuju panggung Oscar.
3. Oppenheimer (2023)
Christopher Nolan memang dikenal sebagai sutradara berbakat, tapi Oppenheimer terasa lebih seperti upaya besar-besaran untuk memancing Oscar ketimbang menjelajahi sisi manusia dari sang ilmuwan. Film ini ingin tampil sebagai karya serius tentang sejarah dan moralitas, namun terasa dangkal dalam eksplorasi psikologisnya.
Dengan durasi panjang dan gaya penceritaan penuh efek dramatis, film ini gagal menyentuh inti batin tokoh utamanya. Padahal, tema besar seperti penciptaan bom atom semestinya diolah dengan lebih dalam dan reflektif. Namun karena berdasarkan tokoh nyata dan dibungkus secara megah, film ini tetap sukses memikat para juri penghargaan meski maknanya tidak benar-benar mengena.
4. Pieces of a Woman (2020)
Pieces of a Woman mencuri perhatian berkat penampilan Vanessa Kirby yang luar biasa, terutama dalam adegan persalinan one take yang sangat emosional. Namun setelah momen awal yang mengguncang, film ini justru kehilangan arah dan hanya bergantung pada intensitas akting Kirby.
Sayangnya, alur cerita yang minim perkembangan dan hanya berputar pada penderitaan tokohnya membuat film ini terasa kosong. Rasanya seolah seluruh film dibentuk hanya untuk memamerkan kemampuan akting hebat, bukan menyampaikan kisah yang benar-benar kuat.
Garapan Kornél Mundruczó ini menjadi contoh lain dari film yang tampak seperti latihan akting untuk mengejar penghargaan, bukan pengalaman sinematik yang utuh.
5. A Complete Unknown (2024)
Film biopik tentang Bob Dylan ini datang dengan gembar-gembor besar, terutama karena menampilkan Timothée Chalamet sebagai sang legenda musik. Tapi alih-alih memberi wawasan baru atau nuansa mendalam, A Complete Unknown justru terjebak dalam naskah datar dan penggambaran karakter yang terlalu satu dimensi.
Chalamet memang tampil bagus, tapi jelas terlihat bahwa proyek ini dirancang untuk menjadi kendaraan Oscar klasik yakni biopik musisi ikonik dengan aktor muda berbakat. Alih-alih menggali jiwa Dylan, film ini hanya menampilkan potongan-potongan kisah yang terasa membosankan.
Jika tujuannya adalah mendulang nominasi, maka misinya terlihat terlalu transparan dan kurang berhasil.
Tak sedikit film yang tampaknya dibuat bukan untuk menyampaikan cerita yang menyentuh, tapi lebih demi mengejar pengakuann penghargaan. Bintang besar, cerita tokoh nyata, dan akting dramatis memang bisa jadi formula yang menggoda, tapi apakah semua itu cukup kalau cerita di baliknya terasa kosong?