Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
When Harry Met Sally...
When Harry Met Sally... (dok. MGM/When Harry Met Sally... )

Pernahkah kamu merasa gak puas dengan film-film romcom masa kini? Ada saja rasanya yang kurang mengena di hati. Entah latarnya yang terlalu rapi dan estetik hingga terasa gak realistis, performa aktornya yang kurang nampol, atau jalan ceritanya yang kurang menyakinkan.

Ternyata ada beberapa alasan yang lebih objektif untuk menggambarkan kejenuhan ini. Bukan karena aktor, latar, dan jalan cerita saja, tetapi ada beberapa hal tentang kehidupan modern yang tak bisa ditampik pengaruhnya. Apa saja itu?

1. Kita kehilangan optimisme sejak disrupsi digital terjadi

Four Weddings and a Funeral (dok. Metro-Goldwyn-Mayer/Four Weddings and a Funeral)

Ada satu aspek yang bikin romcom masa lalu terasa magis, yakni keberadaan momen pertemuan yang melelehkan hati. Meet cute istilahnya. Dahulu, semua itu terasa realistis dan mungkin. Namun, sejak disrupsi digital terjadi, relasi antarmanusia pun berubah. Alih-alih percaya kalau kita bisa bertemu jodoh di dunia nyata, banyak dari kita yang beralih ke aplikasi kencan dan media sosial.

Awalnya menemukan rasa nyaman karena gak perlu mengambil risiko bertemu langsung, jagat maya ternyata lebih berbahaya dan penuh tipuan. Ini perlahan membuat kita kehilangan optimisme, digantikan rasa waswas dan pesimis menyelimuti. Tak heran, saat harus melihat momen meet cute di film romcom masa kini, kita tak lagi punya kemampuan mengapresiasinya seperti dulu kala.

2. Kapitalisme mengubah perspektif kita soal cinta

Materialists (dok. A24/Materialists)

Sisi gelap lain dalam hidup kita yang membuat film romcom kehilangan kesan magisnya adalah kapitalisme. Sadar atau tidak, kita sudah memasuki fase akhir kapitalisme. Istilah itu dipopulerkan oleh Fredric Jameson dalam esainya yang berjudul Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism. Istilah itu merujuk pada fase ketika hampir semua hal — termasuk yang tak berwujud — dikomodifikasi, termasuk budaya, seni, dan juga cinta.

Sangat mudah melihat tanda-tanda ini, termasuk salah satunya fakta bahwa aplikasi kencan yang biasa dipakai pun kini berbayar. Dalam film terbarunya Materialists, Celine Song menyoroti bagaimana manusia masa kini mencari belahan jiwa dengan cara yang tak jauh berbeda dengan melamar pekerjaan atau membidik investor. Ada aspek-aspek material yang masuk pertimbangan dan kerap jadi faktor yang menentukan langgeng atau tidaknya suatu hubungan. Film itu pun sontak menciptakan polarisasi di antara penonton. Ada yang menganggap akhirnya seperti “broke man propaganda” alias pembelaan untuk orang-orang (terutama pria) bokek. Namun, sebagian menganggap itu mungkin disengaja untuk menciptakan rasa mengganggu yang berarti mengonfirmasi betapa materialistisnya manusia modern, termasuk kita.

Bukan berarti film romantis masa lalu tidak menyertakan ini. Film-film period drama yang diadaptasi dari novel klasik seperti Pride and Prejudice, Persuasion, dan Sense and Sensibilities pun memasukkan elemen divisi kelas dan kemapanan finansial. Begitu pula dengan Titanic dan Pretty Woman. Bedanya, kita sudah masuk pada fase sadar bahwa kapitalisme itu desktruktif dan tak berkelanjutan. Ketimbang meromantisasi cinta beda kelas, banyak sutradara masa kini yang memilih mengulik sisi gelap dari ketimpangan tersebut. Itu yang kemudian memperkenalkan kita pada subgenre lain berjuluk anti-romcom.

3. Efek nostalgia yang kuat

Party Girl (dok. IFC Films/Party Girl)

Faktor lain yang tak bisa dimungkiri adalah fakta bahwa kita tergoda dengan efek nostalgianya. Zaman ketika semua hal lebih mudah, ringan, dan indah. Pada tahun 1990—2000-an, kita tidak dihimpit tekanan untuk tampil sempurna karena media sosial. Tak ada yang namanya personal branding dan pencitraan berlebih. Orang lebih bebas jadi diri sendiri, memakai pakaian yang disuka, dan menekuni hobi tanpa terpengaruh tren yang berkembang.

Sebagian dari kita mungkin masih berusia belia bahkan kanak-kanak yang pastinya penuh kenangan manis dan pahit sekaligus. Namun, sejujurnya tak akan seberat fase jadi dewasa seperti sekarang. Tak heran, film romcom lawas berperan seperti sebuah penghiburan alias alat mitigasi stres dan eskapisme yang ampuh.

Apa pendapat pribadimu? Apakah ini soal perbedaan pendekatan optimis dan pesimis belaka? Atau memang benar disrupsi teknologi dan kapitalisme mengubah perspektif kita selamanya tentang kisah cinta dan cinta pada umumnya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAtqo Sy