Materialists (dok. A24/Materialists)
Sisi gelap lain dalam hidup kita yang membuat film romcom kehilangan kesan magisnya adalah kapitalisme. Sadar atau tidak, kita sudah memasuki fase akhir kapitalisme. Istilah itu dipopulerkan oleh Fredric Jameson dalam esainya yang berjudul Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism. Istilah itu merujuk pada fase ketika hampir semua hal — termasuk yang tak berwujud — dikomodifikasi, termasuk budaya, seni, dan juga cinta.
Sangat mudah melihat tanda-tanda ini, termasuk salah satunya fakta bahwa aplikasi kencan yang biasa dipakai pun kini berbayar. Dalam film terbarunya Materialists, Celine Song menyoroti bagaimana manusia masa kini mencari belahan jiwa dengan cara yang tak jauh berbeda dengan melamar pekerjaan atau membidik investor. Ada aspek-aspek material yang masuk pertimbangan dan kerap jadi faktor yang menentukan langgeng atau tidaknya suatu hubungan. Film itu pun sontak menciptakan polarisasi di antara penonton. Ada yang menganggap akhirnya seperti “broke man propaganda” alias pembelaan untuk orang-orang (terutama pria) bokek. Namun, sebagian menganggap itu mungkin disengaja untuk menciptakan rasa mengganggu yang berarti mengonfirmasi betapa materialistisnya manusia modern, termasuk kita.
Bukan berarti film romantis masa lalu tidak menyertakan ini. Film-film period drama yang diadaptasi dari novel klasik seperti Pride and Prejudice, Persuasion, dan Sense and Sensibilities pun memasukkan elemen divisi kelas dan kemapanan finansial. Begitu pula dengan Titanic dan Pretty Woman. Bedanya, kita sudah masuk pada fase sadar bahwa kapitalisme itu desktruktif dan tak berkelanjutan. Ketimbang meromantisasi cinta beda kelas, banyak sutradara masa kini yang memilih mengulik sisi gelap dari ketimpangan tersebut. Itu yang kemudian memperkenalkan kita pada subgenre lain berjuluk anti-romcom.