ilustrasi sinefil dan koleksi filmnya (Pexels.com/Kutay Ertürk)
Salah satu alasan sinefil jadi berkonotasi negatif adalah kedekatannya dengan kultur performatif. Media sosial lagi-lagi jadi salah satu biang keroknya. Selain Instagram, TikTok, penikmat film pasti gak asing dengan Letterboxd. Aplikasi ini bak buku harian untuk para pencinta film, tempat di mana kamu bisa merekam dan menilai film-film yang sudah atau baru ditonton beserta ulasannya (bila berkenan menulis). Tentunya tujuannya awalnya hiburan belaka, seperti Facebook, Instagram, dan X (Twitter) yang dahulu dipakai orang sebagai “buku harian” daring.
Namun, lama kelamaan media sosial berevolusi seiring perkembangan penggunanya dan dorongan kapitalisme. Facebook kini menjelma jadi marketplace, Instagram jadi tempat membangun personal branding, dan X pun kini tak luput dari monetisasi. Mengutip kalimatnya Helene von Bismarck dari The Guardian dalam artikelnya soal evolusi Twitter(X), “tidak ada orang yang imun dari narsisme yang didorong media sosial.” Ini yang terjadi pula pada para pengguna media sosial yang kebetulan punya kesukaan lebih terhadap film.
Media sosial bukan lagi buku harian personal, tetapi sesuatu yang ingin mereka pamerkan, seperti jumlah film yang ditonton dalam sebulan, film eksentrik apa saja yang sudah ditonton, film populer mana yang layak dihujat dan lain sebagainya. Ini membuktikan teorinya Pierre Bourdieu soal selera dalam buku berjudul Distinction: A Social Critique and the Judgement of Taste (1984). Selera sering dipakai untuk mengkategorikan manusia dalam strata sosial tertentu. Dalam konteks film, mungkin tak sedikit yang berpikir kalau makin edgy film yang ditonton, makin tinggi selera dan status sosialnya.