Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi konser
ilustrasi konser (pexels.com/Sebastian Ervi)

Intinya sih...

  • LMKN dan LMK bertugas mengoleksi dan membagikan royalti secara adil sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

  • Keadilan pembagian royalti ke musisi dipertanyakan, sistem Blanket License dianggap usang dan tidak adil oleh sebagian musisi dan komposer.

  • LMK dan LMKN belum menggunakan sistem berbasis teknologi informasi untuk mendeteksi lagu yang diputar di ruang publik, para musisi desak laporan audit kinerja dan keuangan dibuka ke publik.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tanda tanya besar menyelimuti pikiran musisi, komposer, hingga pelaku usaha terkait satu kata yang sedang ramai diperbincangkan: royalti. Di Indonesia, urusan pengumpulan dan pembagian royalti musik dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dibantu belasan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK ini menaungi ribuan musisi terkait royalti penggunaan karya di ruang publik.

Namun sayangnya, dua lembaga tersebut justru mendapat mosi tidak percaya dari para musisi anggota mereka sendiri. Ari Lasso misalnya, yang baru-baru ini speak-up, penyanyi anggota LMK WAMI ini protes keras karena laporan data jumlah royalti yang ia terima berbeda jauh dari yang seharusnya.

Data menyebut Ari Lasso mendapat royalti lebih dari Rp30 juta, namun email dari WAMI yang ia terima hanya mendapatkan Rp700 ribuan saja. WAMI kemudian mengklarifikasi bahwa hal ini akibat human error dalam pengiriman email.

Meski begitu, transparansi LMKN mengenai pengoleksian dan pendistribusian royalti sudah jadi topik yang selalu diperbincangkan setiap tahunnya. Meski para musisi berusaha duduk bersama bahkan hingga melibatkan pemerintah, masalah transparansi LMKN dan LMK masih juga belum terselesaikan dan belum ditemukan jalan keluarnya.

1. Tugas LMKN dan LMK adalah untuk mengoleksi dan membagikan royalti secara adil

LMKN (lmkn.id)

Sedikit menarik sejarah ke belakang, LMKN dibentuk sejak 2014 setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. UU ini menugaskan LMKN mengelola pengumpulan dan pendistribusian royalti musik agar penyanyi, komposer, penulis lirik, dan pencipta lagu lainnya mendapat hak ekonominya.

LMKN juga memiliki belasan LMK yang membantu untuk menaungi musisi-musisi anggotanya mengoleksi royalti dari penggunaan karya musik mereka dan mendistribusikannya juga kepada mereka.

Melalui UU tersebut, terbentuknya LMKN dan LMK ini memiliki tujuan mulia, yaitu menciptakan sistem royalti yang teratur dan adil, menggantikan situasi sebelum 2014 yang belum memiliki aturan dan mekanisme jelas. Namun, pada praktiknya, sistem pemungutan dan pendistribuannya dianggap tidak jelas.

2. Keadilan pembagian royalti ke musisi dipertanyakan

Ahmad Dhani dan Cholil Mahmud (instagram.com/ahmaddhaniofficial | instagram.com/sebelahmata_erk)

Membahas soal keadilan pembagian royalti, inilah yang jadi polemik utama yang terjadi saat ini. Ahmad Dhani, musisi sekaligus pendiri Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), hingga saat ini masih mempertanyakan soal distribusi royalti tersebut. Apakah benar-benar sampai ke musisi dan komposer yang karya lagunya diputar atau justru hanya dibagi rata kepada seluruh musisi yang menjadi anggota di sebuah LMK.

Dalam acara diskusi di channel YouTube Liputan6, Ahmad Dhani mengambil contoh kasus restoran Mie Gacoan yang akhirnya harus membayar Rp2,2 M setelah dituntut LMK Selmi atas royalti penggunaan lagu periode 2022-2025. Namun, ia sebagai musisi maupun publik gak pernah tahu rincian dari uang miliaran tersebut mengalir ke musisi siapa saja.

"Sebenarnya restoran, kafe, dan lain-lain itu sebenarnya willing to pay, bersedia bayar. Cuma masalahnya, ketika sudah dibayar apakah ini akan adil gak pembayarannya ke pihak-pihak terkait yang punya (karya)?" ujar Dhani seperti dikutip pada Kamis (14/8/2025).

Pentolan band Dewa 19 ini menjabarkan cara kerja LMK membagikan royalti yang mereka kumpulkan saat ini. Menurutnya, ketika LMK menarik royalti, mereka tidak memiliki data lagu-lagu mana saja yang diputar. Ini menjadi pertanyaan, bagaimana LMK bisa menyebarkan royaltinya secara adil hanya kepada pemilik karya yang lagunya diputar saja.

"Kayak tadi saya barusan ke restoran cukup besar, tuh. Mereka bayar ke LMK, bayar ke WAMI misalnya, ya. Harusnya kan paling gak LMK bikin daftar di restoran ini lagu siapa saja yang dimainkan. Sehingga, jangan sampai restoran ini gak pernah nge-play lagunya Charly Van Houten misalnya ya, tapi royaltinya ke Charly Van Houten. Nah, itu lho yang orang masih bingung," ujarnya.

Sementara itu, Cholil Mahmud, anggota band Efek Rumah Kaca yang kini Ketua Pelaksana Tugas Federasi Serikat Musisi Indones (FESMI), yang juga hadir dalam diskusi tersebut menyatakan, inilah salah satu kelemahan dari sistem yang dipakai oleh LMK-LMK saat ini, yaitu sistem Blanket License. Jadi, dalam Blanket License, LMK akan menagih tarif royalti dari keseluruhan lagu yang diputar, bukan berdasar per satu lagu yang diputar.

"Itu konsekuensi dari Blanket License, paketan. Kelebihannya dia lebih mudah diterapkan dalam situasi yang belum ada data yang presisi. Nah, tapi sekarang zamannya udah digital, kayaknya sekarang memang sudah harus move on. Sehingga, benar-benar hak cipta itu dibayarkan kepada musisi-musisi yang berhak, yang lagunya benar diputar itu beneran dapat," tambah vokalis Efek Rumah Kaca ini.

3. Bagaimana LMK dan LMKN mendeteksi lagu siapa saja yang diputar di ruang publik?

komiosioner LMKN periode 2022-2025 (lmkn.id)

Beberapa waktu lalu, IDN Times sempat bertanya ke Dharma Oratmangun, Ketua LMKN, terkait sistem atau cara mereka mendeteksi lagu siapa saja yang diputar di setiap restoran atau kafe.

Dharma tidak secara gamblang menjabarkan bagaimana cara mereka memantau lagu-lagu yang diputar di ruang publik. Namun, ia mengaku kalau LMKN memiliki sebuah pola, salah satunya dengan pola sampling dan juga sedang penjajakan menggunakan teknologi AI. Meski begitu, ia menegaskan, pemantauan itu sudah dilakukan oleh LMKN selama ini.

"Tentunya metode mengontrol kan kita gak perlu bilang ke siapapun juga. Kita ada pola untuk... Kita sudah kerja sama dengan, ada penjajakan kerja sama dengan teknologi AI, bisa memantau," ujar Dharma menjawab pertanyaan IDN Times lewat sambungan telepon pada 6 Agustus 2025.

Selain itu, ketika ramai-ramai tentang lagu di acara pernikahan juga dikenakan royalti, IDN Times pernah menanyakan cara LMK WAMI untuk mendeteksi lagu siapa saja yang diputar. Robert Mulyarahardja sebagai Head of Corporate Communications & Membership WAMI, menyebut, mereka juga belum memiliki cara pasti untuk mendeteksinya.

"Memang untuk ini masih menjadi pekerjaan rumah kami, karena benar, sifatnya privat dan tidak mudah dideteksi. Namun, WAMI tetap menggunakan segala resources yang dimiliki untuk memantau. Selain itu, kami juga berusaha aktif melakukan sosialisasi ke berbagai kelompok dan kalangan masyarakat agar lebih terinfo dengan baik mengenai hal performing rights ini," kata Robert dalam pesan WhatsApp yang IDN Times terima pada 11 Agustus 2025.

4. Seharusnya LMK menggunakan sistem berbasis teknologi informasi, tinggalkan cara manual

surat terbuka VISI dan FESMI untuk LMKN (instagram.com/fesmi.id)

Meski telah ditanyakan langsung kepada pihak LMKN dan salah satu LMK sebesar WAMI, belum ada jawaban pasti mengenai bagaimana mereka mendeteksi lagu-lagu siapa saja yang diputar di ruang publik. Sistem Blanket License terbukti sudah usang dan dianggap tidak adil oleh sebagian musisi dan komposer.

Kembali ke Ahmad Dhani, sembari uji materi UU Hak Cipta yang diajukan sejumlah musisi sedang berjalan, hingga dirancangnya Peraturan Menteri mengenai perbedaan sistem perizinan untuk royalti putar lagu di ruang publik dan konser, saat ini LMK dan LMKN mulai harus ambil langkah perbaikan. Salah satu yang utama adalah dengan melakukan digitalisasi atau menggunakan sistem yang berbasis teknologi informasi.

Mengambil contoh kasus untuk penghitungan royalti di tempat karaoke, Dhani dan Cholil satu suara menyebut bahwa LMK selama ini menghitung lagu yang dimainkan di tiap-tiap ruangan masih dengan metode manual.

"Misalnya saya tanya, di karaoke bisa tahu berapa ininya (lagu yang diputar)? Nyarinya pakai apa? Pakai tangan! Gila. Karaoke A kamar 1, lagu ini lagu ini lagu ini, (ditulis) pakai tangan," ujar Dhani memperlihatkan gestur menulis di tangannya.

Untuk menghindari hal tersebut terus terjadi, Cholil Mahmud memiliki usul untuk memasang aplikasi di tiap ruang karaoke agar bisa terintegrasi otomatis soal lagu-lagu apa saja yang diputar dalam satu ruang karaoke.

"Harusnya kan pakai apps saja ada di setiap room gitu. Nanti dia akan connect ngasih datanya lagu ini diputar," ujar PLT Ketua FESMI tersebut.

Hal ini juga diungkapkan secara resmi oleh Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan FESMI melalui unggahan di Instagram. Sambil mengucapkan selamat kepada susunan komisioner LMKN yang baru saja dilantik, VISI dan FESMI satu suara menginginkan transparansi hingga digitalisasi oleh LMK dan LMKN.

"Sebagai wujud pelaksanaan transparansi tersebut, kami berharap LMKN dan LMK dapat segera melaporkan distribusi royalti yang telah dibayarkan Mie Gacoan. Perbaikan sistem menuju digitalisasi sangat diperlukan, namun kesungguhan juga dapat dilihat dari respons cepat atas salah satu tugas utama LMKN dan LMK, yaitu distribusi royalti," tulis VISI dan FESMI dalam surat terbuka yang diunggah.

IDN Times sudah mencoba menghubungi Ahmad Dhani dan Armand Maulana (salah satu pendiri VISI), tetapi hingga artikel ini dirilis, mereka belum merespons.

5. Musisi desak LMK dan LMKN laporkan audit kinerja dan keuangan ke publik

Undang-Undang Hak Cipta (instagram.com/duniamanji)

Semakin hari urusan royalti tampak semakin keruh, para musisi terus menuntut LMKN berbenah. Terbaru, sederet musisi mendesak LMK dan LMKN untuk membuka laporan keuangannya ke publik. Diawali oleh Ari Lasso yang memunculkan tagar #AUDITWAMI, menuntut LMK WAMI untuk mengaudit keuangannya sebagai bukti transparansi distribusi royalti ke para musisi.

"Yukkkkkk yang setuju petisi kepalkan tangan anda (Musisi, EO, MANAJEMEN ARTIS, Promotor, pemilik cafe, karaoke , restoran, bar). Dan kita jangan minta bantuan BPK atau KPK atau siapa pun, mereka pasti sibuk dengan urusan bangsa yang lebih urgent. Kita patungan aja menyewa lembaga auditor independen," tulis Ari Lasso dalam unggahan Instagram miliknya

VISI dan FESMI juga menuntut LMKN dan LMK untuk segera melaporkan distribusi royalti, khususnya untuk kasus Mie Gacoan yang menghasilkan royalti dengan angka fantastis, yakni Rp2,2 M. Juga mendesak untuk melakukan audit ke publik.

"Segeralah lakukan distribusi yang adil dengan audit yang baik dan informasikan secara transparan ke publik," bunyi penggalan isi surat terbuka FESMI dan VISI.

Sementara menurut Anji, LMKN dan LMK sejauh ini tidak mau membuka audit kinerja dan keuangan mereka kepada publik. Mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab memberikan laporan tersebut kepada publik, alih-alih melaporkan audit kinerja dan keuangan kepada Kementerian Hukum dan HAM.

Padahal jika mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta, LMKN dan LMK disebut harus melaporkan auditnya kepada publik minimal satu tahun sekali.

"Jika mengacu kepada Pasal 90 Undang-Undang Hak Cipta dan juga Pasal 17 PP 56, LMK dan LMKN wajib untuk memberikan laporan audit kinerja dan keuangan kepada publik dan juga melalui media cetak maupun media elektronik minimal satu tahun sekali. Ini juga yang pernah ditanyakan oleh AKSI kepada mereka. Tapi, LMKN saat itu menolak memberikan laporannya, karena merasa mereka tidak bertanggung jawab kepada AKSI atau kepada publik," papar Anji lewat unggahan Instagram miliknya pada 12 Agustus 2025.

Perjuangan para musisi, komposer, hingga pengusaha untuk menuntut transparansi LMKN dan LMK masih terus berlanjut. Uji materi UU Hak Cipta hingga Peraturan Menteri pun sedang digodok.

Editorial Team