Review Better Man, Biopik Robbie Williams yang Dibintangi Monyet CGI

- Better Man menggabungkan genre biopik dengan fantasi musikal
- Potret jujur tentang popularitas dan dampak negatifnya
- CGI halus dengan balutan soundtrack yang menggugah jiwa
Jakarta, IDN Times - Penulis berkesempatan menghadiri special screening film Better Man (2024) yang diselenggarakan KlikFilm x Jakarta World Cinema di CGV Grand Indonesia, Jumat malam (17/10/2025). Sebagai film biopik yang dinominasikan Oscar tahun lalu, jujur saja kalau Better Man adalah tontonan tak terduga yang siap mengetuk sisi terdalam jiwa sinefil mana pun.
Disutradarai Michael Gracey, film ini tak sekadar menceritakan kisah hidup penyanyi legendaris Robbie Williams, tetapi juga berani bertanya: siapa sebenarnya Robbie Williams itu? Bagi sebagian orang, jawabannya mungkin sederhana: bintang pop flamboyan Inggris dengan sejumlah lagu hits. Namun bagi Gracey, Robbie adalah sosok kompleks yang terjebak antara kejayaan, trauma, dan pencarian jati diri. Di tangan Gracey, kisah itu berubah menjadi fantasi musikal di mana Robbie… adalah seekor monyet CGI.
Kedengarannya memang aneh, tapi hasil akhirnya justru luar biasa. Penasaran dengan ulasannya? Yuk, lanjut baca di bawah!
1. Berani gabungkan genre biopik dengan fantasi musikal

Better Man mengambil langkah paling gila yang mungkin dilakukan film biografi musik mana pun, yaitu menampilkan Robbie Williams sebagai seekor simpanse CGI. Ide ini, yang awalnya terdengar seperti gimmick konyol, justru menjadi cara Gracey memvisualisasikan citra diri Robbie yang menganggap dirinya "belum berevolusi" dan terjebak dalam peran publiknya sebagai penghibur.
Melalui teknologi motion-capture canggih dari Wētā FX, aktor Jonno Davies memerankan Robbie dalam setiap gestur dan ekspresi, sementara suara aslinya tetap diisi oleh sang penyanyi sendiri. Hasilnya adalah kombinasi unik antara manusia, hewan, dan CGI.
Gracey juga menolak formula biopik konvensional. Ia memadukan drama realistis dengan set piece musikal yang spektakuler. Salah satunya adegan "Rock DJ" yang menjadi montase one-shot memukau, menampilkan ratusan penari di Regent Street dalam parade warna dan kostum ikonik. Sementara "Come Undone" berubah menjadi adegan kejar-kejaran penuh simbolisme antara Robbie dan ketenaran itu sendiri.
2. Potret jujur tentang popularitas dan dampak negatifnya

Di balik segala gemerlapnya, Better Man adalah potret brutal tentang ketenaran. Film ini menggambarkan perjalanan Robbie dari remaja Stoke-on-Trent yang haus pengakuan, menjadi anggota Take That, hingga penyanyi solo sukses yang kesepian.
Tidak ada glorifikasi di sini. Robbie ditampilkan apa adanya: egois, impulsif, sering menyakiti orang di sekitarnya, dan terus-menerus berperang dengan dirinya sendiri. Ketergantungannya pada obat (termasuk kokain), konflik dengan media, hingga hubungannya yang berantakan dengan Nicole Appleton dari All Saints, semuanya digambarkan dengan transparan dan tanpa filter.
Satu hal yang paling menyentuh adalah cara film ini memperlihatkan bahwa musuh terbesar Robbie bukanlah ketenaran, narkoba, atau industri hiburan, melainkan dirinya sendiri. Dalam berbagai adegan reflektif, monyet CGI Robbie menatap dirinya sendiri di tengah sorak sorai penonton, sebuah metafora sempurna bagi hidup seorang superstar yang kehilangan arah.
3. CGI halus dengan balutan soundtrack yang menggugah jiwa

Tak hanya visualnya yang menawan, Better Man juga memanjakan telinga kita. Lagu-lagu legendaris Robbie seperti Feel, She’s the One, Angels, hingga Better Man dikemas ulang dengan aransemen megah yang membuat bulu kuduk berdiri.
Adegan klimaks di Royal Albert Hall, ketika Robbie menyanyikan lagu hit Frank Sinatra, My Way, bersama ayahnya, adalah momen paling emosional dalam film. Bisa dibilang kalau adegan tersebut adalah tribute bagi hubungan ayah-anak yang sempat retak, sekaligus pernyataan damai Robbie terhadap masa lalunya. Tak sedikit penonton yang menitikkan air mata, bahkan sampai terisak-isak.
CGI yang digunakan pun sangat halus, membuat ekspresi "Robbie-monyet" terasa nyata. Setiap gerakan, setiap tatapan kosong, anehnya sanggup menggambarkan rasa sakit yang begitu manusiawi. Dengan Better Man, Michael Gracey menciptakan sesuatu yang langka, sebuah film biopik musik yang tidak hanya menghibur, tapi juga berani, absurd, dan emosional.
Robbie Williams mungkin tidak lagi berada di puncak kariernya. Namun melalui film ini, ia menunjukkan keberanian yang jarang dimiliki artis sekelasnya: keberanian untuk menertawakan, mengaku, dan akhirnya memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulannya, Better Man bukan cuma kisah seorang bintang pop, tapi juga tentang menjadi manusia dengan luka, ego, dan kerinduan untuk dicintai.