Meski penuh darah dan teror, kekuatan utama Janur Ireng justru terletak pada ceritanya yang membumi. Film ini berdurasi sekitar 90 menit dengan ritme yang dibangun perlahan, tapi menekan. Sebagai penonton, kita diajak memahami trauma, ketakutan, dan konflik batin para karakter sebelum horor mencapai puncaknya.
Marthino Lio dan Ratu Rafa tampil solid sebagai kakak-adik yang terikat oleh rasa sayang sekaligus ketakutan. Di sisi lain, Tora Sudiro menjadi kejutan terbesar. Lepas dari citra komedi, ia tampil dingin, bengis, dan sangat mengintimidasi sebagai Arjo Kuncoro. Transformasi ini terasa natural dan memberi lapisan ancaman psikologis yang kuat sepanjang film.
Tak ketinggalan, Faradina Mufti dan Karina Suwandi mencuri perhatian sebagai bagian dari kepala keluarga Trah Pitu, tujuh keluarga besar yang bersekutu dengan iblis. Keberadaan mereka memperluas mitologi Sewu Dino, sekaligus memberi fondasi cerita yang terasa kokoh untuk eksplorasi di film selanjutnya.
Dari sisi teknis, tata artistik rumah keluarga Kuncoro digarap secara detail dan muram, membuatnya terasa seperti entitas hidup yang menyimpan rahasia kelam. Musik latar, desain suara, dan VFX horornya juga cukup solid dalam mendukung atmosfer mencekam tanpa terasa murahan. Menjelang akhir, benang merah dengan Sewu Dino ditarik dengan rapi sehingga tak ayal memancing reaksi terkejut dari penonton.