Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Review Rest Area, Film Teen-Slasher yang Angkat Isu Sosial.jpeg
Rest Area (dok. Mahakarya Pictures/Rest Area)

Intinya sih...

  • Film Rest Area mencoba menyelipkan kritik sosial lewat kisah lima remaja crazy rich yang terjebak di rest area setelah menabrak orang.

  • Rest Area terlalu banyak ide tanpa eksekusi yang mantap, dengan naskah dan plot twist yang tidak memuaskan.

  • Film ini hanya direkomendasikan untuk yang penasaran, karena memiliki potensi besar tapi hasil akhirnya mengecewakan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Film terbaru Mahakarya Pictures, Rest Area (2025), mencoba menempuh jalur berbeda dari kebanyakan film horor lokal. Alih-alih sekadar menampilkan adegan berdarah-darah dan jumpscare, film debut Aditya Testarossa ini mencoba menyelipkan kritik sosial lewat kisah lima remaja crazy rich yang terjebak di sebuah rest area setelah menabrak orang. Di sana, mereka diteror oleh sosok Hantu Kresek.

Diperkuat jajaran cast berbakat seperti Lutesha, Chicco Kurniawan, hingga Ajil Ditto, film ini awalnya terlihat menjanjikan. Namun, apakah Rest Area berhasil menjadi slasher segar dengan isu sosial yang kuat. Atau, justru terjebak dalam formula film horor Indonesia? Simak ulasannya di bawah!

1. Bawa kritik sosial dalam balutan genre slasher

Rest Area (dok. Mahakarya Pictures/Rest Area)

Dari premisnya, Rest Area terlihat ambisius. Lima anak orang kaya yang berhenti di sebuah rest area menghadapi teror supranatural, dengan selipan komentar tentang mafia tanah, status sosial, hingga karma kelas menengah atas. Film berdurasi 79 menit ini terdengar seperti gabungan Rumah Kaliurang (2022), Triangle (2009), dan adaptasi game horor Until Dawn (2025).

Idenya bagus, sayangnya tidak dieksekusi dengan baik. Beberapa adegan terasa seperti film horor-komedi, terutama ketika salah satu karakter ditarik masuk ke dalam WC. Ironisnya, adegan-adegan ini justru lebih memorable dibanding narasi serius tentang konflik sosial yang coba diangkat. Jika sejak awal film ini jujur pada dirinya sendiri sebagai horor satire, hasilnya bisa jadi lebih solid.

2. Terlalu banyak ide tanpa eksekusi yang mantap

Rest Area (dok. Mahakarya Pictures/Rest Area)

Di atas kertas, Rest Area punya sejumlah bahan yang dibutuhkan: cast mumpuni, chemistry yang bagus, serta ide yang segar. Namun sayang, naskahnya jadi penghambat terbesar. Skrip terasa mentah, penuh dialog dangkal, dan motivasi karakter nyaris tidak tergali. Alih-alih menambah kedalaman, plot twist yang ditawarkan justru bikin penonton bingung tanpa memberikan payoff memuaskan.

Mirisnya, sisi teknis pun tidak membantu. Sinematografi sekadar "oke" tanpa shot yang benar-benar menggambarkan jalannya cerita. Horornya pun terasa template: hantu teleportasi, kesurupan, hingga time looping. Hasilnya, film ini seperti proyek yang penuh semangat tapi kurang arahan. Untungnya, Lutesha dan Chicco Kurniawan tampil dengan penampilan yang cukup solid, bahkan seakan memikul film ini. Namun, sisanya tenggelam dalam cerita yang terlalu sibuk memikirkan banyak hal sekaligus.

3. Apakah Rest Area recommended buat ditonton?

Rest Area (dok. Mahakarya Pictures/Rest Area)

Jawaban jujurnya: hanya untuk yang penasaran. Film ini jelas punya potensi besar sebagai horor slasher lokal dengan komentar sosial yang pedas, tapi hasil akhirnya mengecewakan. Kamu mungkin akan tertawa pada momen-momen absurd, bukan karena adegannya lucu melainkan karena naskah yang lemah dan plot yang ngawur.

Kalau kamu ingin menikmati akting Lutesha dan Chicco, atau sekadar ingin melihat film teen-slasher meski eksekusinya berantakan, Rest Area bisa ditonton. Namun jika mencari plot yang rapi, menegangkan, sekaligus punya kritik sosial tajam, mungkin film ini belum jadi "tempat istirahat" yang layak untuk dikunjungi.

Editorial Team