Review How To Train Your Dragon Live Action, Bukan Sekadar Fan Service

Adaptasi live-action sering kali menjadi proyek yang dibuat untuk meraup keuntungan semata, sehingga terasa seperti "tanpa nyawa." Namun, How to Train Your Dragon versi live-action berbeda dari adaptasi kebanyakan.
Film ini membuktikan bahwa remake bisa tetap setia pada akarnya sambil menghadirkan pengalaman baru yang memikat. Penasaran mengapa How to Train Your Dragon live-action layak untuk ditonton? Simak ulasan lengkapnya berikut ini!
1. Plot sama tapi tidak membosankan

Meski mengikuti alur cerita animasinya, film berdurasi 2 jam 5 menit ini tidak terasa monoton. Dengan durasi lebih panjang (film animasinya hanya 1 jam 38 menit), terdapat beberapa adegan tambahan yang disisipkan dengan cerdas.
Kita pun hanyut dalam cerita tanpa merasa risih karena esensi cerita aslinya tak tersentuh. Petualangan Hiccup dan Toothless di sekitar Pulau Berk tetap terasa segar, membuat penonton lama maupun baru terpikat dari awal hingga akhir.
2. Akting pemeran yang on point

Para aktor berhasil menghidupkan karakter dengan sempurna, terutama Gerard Butler sebagai Stoick the Vast. Kehadirannya adalah fan service dalam arti terbaik. Karisma yang kuat, dipadukan dengan akting emosionalnya, membuat Stoick jadi magnet utama film ini.
Tanpa keraguan, Butler lahir untuk memerankan pemimpin Viking yang gagah sekaligus penuh kasih ini. Pemeran utama lainnya seperti Mason Thames (Hiccup) dan Nick Frost (Gobber) juga tampil solid dalam setiap adegannya, baik saat momen serius maupun bercanda.
3. Chemistry Hiccup dan Toothless terasa nyata

Chemistry antara Hiccup dan Toothless menjadi jantung trilogi film animasinya, dan versi live-action berhasil menerjemahkannya dengan luar biasa. Interaksi mereka penuh dengan momen lucu, menggemaskan, dan hangat, persis seperti di film animasinya.
Detail visual Toothless di film ini juga benar-benar memukau, lebih gemas dan ekspresif dibandingkan versi animasi. Adegan ikonik saat Hiccup dan Toothless terbang bersama menjadi salah satu momen puncak yang epik dan tak terlupakan.
4. Visual memukau dengan scoring grande

Berbeda dari visual film remake animasi lain yang kadang terasa hambar, How to Train Your Dragon live-action menawarkan visual yang benar-benar menakjubkan. CGI-nya begitu rapi sehingga dunia Berk dan naga-naganya terasa nyata.
Scoring karya John Powell, yang juga hadir di trilogi animasi, kembali menghadirkan nuansa epik yang menggetarkan. Semua ini akan terasa lebih menggigit dalam versi IMAX atau 4DX, memberikan pengalaman sinematik yang memukau.
5. Apakah How To Train Your Dragon (2025) recommended untuk ditonton?

Intinya, How To Train Your Dragon (2025) adalah remake yang sangat berhasil. Meski awalnya terasa seperti film yang tidak kita butuhkan, film ini mengubah persepsi tersebut. Ceritanya disajikan dengan cara yang tidak membosankan sehingga tetap menyenangkan. Visualnya on-point, chemistry karakternya hidup, dan scoring-nya menggema di hati.
Film ini bukan sekadar fan service untuk penggemar trilogi animasinya, melainkan karya yang berdiri kokoh sebagai pengalaman sinematik baru. How To Train Your Dragon sedang tayang di bioskop Indonesia. Jangan sampai terlewat, ya!