[REVIEW] Tangerine, Sisi Lain Los Angeles yang Wajib Kamu Tahu

Intinya sih...
- Film Tangerine (2015) karya Sean Baker berfokus pada dua transpuan pekerja seks yang mengungkap kerentanan dan kekerasan dalam profesi mereka.
- Baker memasukkan subplot unik dari perspektif seorang sopir taksi imigran asal Armenia, yang menambah daya tarik film ini.
- Tangerine dibuat dengan prinsip minimalisme dan naturalisme. Ia menggunakan iPhone untuk pengambilan gambar dan syuting saat golden hour dengan lokasi menarik.
Sebelum melahirkan Anora (2024), si film pemenang Palme d'Or, Sean Baker, dikenal terlebih dahulu lewat film-film indie-nya yang selalu berlakonkan kelompok marginal. Starlet (2012), misalnya, mendapuk aktris film dewasa dan lansia sebagai lakon utama. The Florida Project (2017) juga berlakonkan ibu tunggal yang bekerja serabutan dan tak punya rumah tinggal permanen. Begitu pula dengan Tangerine (2015), film ini menampilkan dua karakter utamanya yang merupakan transpuan.
Tangerine makin unik karena dibuat dengan perlengkapan minimalis. Bergenre naturalisme, film ini seperti jendela yang didesain khusus menghadap ceruk tersembunyi di balik ingar bingar Los Angeles. Seseru apa, sih, filmnya? Berikut review film Tangerine karya Sean Baker.
1. Lakonnya berstatus minoritas ganda: transpuan sekaligus pekerja seks komersial
Untuk Tangerine, Sean Baker memilih menggunakan perspektif dua transpuan bernama Sin-Dee (Kitana Kiki Rodriguez) dan Alexandra (Mya Taylor) yang sama-sama bekerja sebagai pekerja seks komersial. Di tengah perjuangan mereka mencari nafkah dengan cara yang mungkin dianggap hina oleh sebagian orang itu, Sin-Dee menemukan bahwa kekasihnya berselingkuh.
Tak terima, ia mencoba mencari sendiri selingkuhan kekasihnya. Alexandra mengingatkan sahabatnya untuk tak berbuat nekat mengingat Sin-Dee baru saja bebas dari penjara. Tak setuju dengan langkah sang sohib, Alexandra memilih fokus mencari nafkah sendiri. Pada momen inilah, sisi gelap dan kerentanan profesi mereka diungkap dengan cermat oleh Baker. Mulai dari ancaman tak dibayar sampai kekerasan jadi makanan sehari-hari mereka.
2. Kocak, kaos (chaos), tapi juga menyentuh hati
Namun, bukan Sean Baker kalau tak bisa menambahkan kerumitan lain dari balada dua transpuan ini. Selain adegan lokalisasi di Los Angeles, ia memasukkan satu subplot yang tak kalah unik, yakni perspektif seorang sopir taksi asal Armenia yang pernah jadi klien Sin-Dee dan Alexandra. Sebagai imigran, hidupnya tak pernah mudah. Ia terjebak dalam pekerjaan menial (tak perlu banyak keterampilan dan kurang bergengsi) karena gelar pendidikan yang tak diakui dan keterbatasan bahasa. Itu masih diperparah dengan perbedaan kultur yang membuatnya tak bebas jadi dirinya sendiri.
Pada satu waktu, ketiganya ditambah kekasih Sin-Dee dan selingkuhannya dipertemukan. Ini menciptakan satu adegan klimaks yang penuh ketidakteraturan, tetapi kocak sekaligus menyentuh hati. Baker adalah salah satu sineas yang jago memainkan struktur dalam filmnya. Dari awal hingga akhir, tak ada yang bisa menebak ke mana arah film akan melaju, tetapi justru di sinilah daya tariknya. Kamu seolah dihipnotis untuk tetap menatap layar.
3. Dibuat dengan iPhone saat golden hour
Selain plotnya yang inovatif, Tangerine makin spesial karena dibuat dengan prinsip minimalisme dan naturalisme. Sean Baker menggunakan iPhone untuk mengambil gambar dengan bantuan cahaya alami. Ia dan sinematografer Radium Cheung melakukan syuting saat golden hour (sore menjelang matahari terbenam). Keputusan itu menciptakan color grading yang brilian dan estetik.
Mereka juga dengan jeli memilih lokasi syuting yang menarik. Lokasinya bukan tempat mewah dan estetik, melainkan pertokoan yang menapak tanah serta dinding-dinding mural. Ini jelas sudut kota Los Angeles yang jauh dari ingar bingar Hollywood. Film low-budget dengan kualitas superior merupakan ungkapan yang ideal untuk menggambarkan Tangerine (2015). Atas keunikan plot dan pengalaman sinematik spesialnya, film ini berhak dapat skor 5/5.
Kesuksesan Sean Baker memenangkan Palem Emas seperti sebuah gratifikasi tertunda untuk dedikasinya menciptakan karya-karya cemerlang. Kalau Baker butuh 4 film sebelum dapat salah 1 penghargaan bergengsi, masih yakin kamu mau menyerah usai gagal pada percobaan pertama?