There's Still Tomorrow (dok. European Film Awards/There's Still Tomorrow)
Namun, seiring berjalannya waktu ditambah gertakan dari Marcella, Delia mulai melakukan pemberontakan-pemberontakan kecil. Mulai dari diam-diam melakukan hal tanpa sepengetahuan suaminya sampai pada akhirnya menentukan nasibnya sendiri pada akhir film. Sekuens ini sempat bikin penonton bertanya-tanya, apakah akhirnya Delia benar-benar lepas dari cengkeraman suaminya?
Menariknya, Paola Cortellesi tidak memilih perubahan nasib dramatis untuk Delia. Ia membiarkan karakternya itu berkembang dengan pelan, tapi pasti. Dimulai dengan sebuah perubahan kecil yang harapannya akan membawanya merengkuh nasib yang lebih baik. Untuk beberapa orang ini mungkin terasa kurang menggertak. Namun, untuk orang-orang yang mengalami nasib serupa Delia, ini bisa jadi sebuah langkah yang berdampak besar.
Perlu jadi perhatian, orang-orang yang terjebak dalam kekerasan domestik punya risiko besar jadi korban femisida bila langsung melawan. Kesadaran ini yang kerap kita lupakan dan mengarah pada victim blaming —menganggap korban dengan sadar memang tak ingin keluar atau bahkan nyaman berada dalam hubungan toksik tersebut. Untuk kejeliannya itu, Paola Cortellesi layak dapat apresiasi setinggi-tingginya.
Tak banyak komentar untuk desain produksi, scoring, dan sinematografinya. Pada aspek estetika dan penyertaan sentuhan komedi, film ini seperti mesin waktu yang membawamu kembali ke semesta sinematik Vittorio de Sica.
Bedanya, untuk scoring, Cortellesi memilih menambahkan beberapa lagu kontemporer yang kontras dengan latarnya. Secara umum, There's Still Tomorrow memang layak jadi sensasi. Skor 4/5 bolehlah kita berikan untuk film feminis Italia itu.