Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Selain maju dalam bidang teknologi, Jepang juga dikenal dengan khazanah budaya dan tradisinya. Malah masyarakat Negeri Sakura itu mampu mengawinkan keduanya dan sanggup membuktikan betapa tradisi dan teknologi bisa bersinergi dan membawa kemajuan.
Namun kini, di masa pandemi COVID-19, masyarakat Jepang mendapatkan tantangan berat dalam hal mempertahankan tradisinya. Upaya mengurangi risiko penularan justru mengancam keberlangsungan tradisi yang sudah berjalan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun lalu.
Apa saja tradisi masyarakat Jepang yang terancam berubah akibat COVID-19? Berikut ini ulasannya.
1. Kebijakan kerja dari rumah memaksa pemerintah meninjau ulang tradisi penggunaan hanko
Sejak medio 1800-an, masyarakat Jepang sudah menggunakan hanko atau stempel diri sebagai pengganti tanda tangan. Semua dokumen resmi baik untuk keperluan bisnis maupun administrasi wajib memuat cap pengganti tanda tangan atau hanko.
Saat ini, di masa pandemi COVID-19 tradisi itu terancam berubah. Pemberlakuan status darurat nasional dan kebijakan kerja dari rumah tidak memungkinkan pekerja menggunakan hanko. Penyederhanaan proses bisnis pun kini menjadi topik utama di Jepang, termasuk yang berkaitan dengan alternatif pengganti hanko.
2. Status darurat nasional membuka opsi perubahan tahun ajaran baru dari April ke September
Tahun ajaran baru untuk sekolah dan universitas di Jepang dimulai setiap bulan April. Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Meiji sekitar tahun 1868-1912. Pada musim semi itu, aktivitas mencari kerja juga terjadi.
Namun, pandemi COVID-19 memaksa pemerintah setempat memikirkan opsi perubahan tahun ajaran baru ke bulan September. Desakan semakin menguat setelah muncul opsi perpanjangan masa darurat nasional hingga satu bulan ke depan. Belum lagi gubernur di 17 prefektur juga mendukung perubahan itu.
Baca Juga: Mengerikan, 5 Tradisi Ini Harus Dilakukan Perempuan di Suku Afrika
3. Pandemi COVID-19 menghalangi masyarakat Jepang untuk bepergian selama Golden Week
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Sejak 1950-an, masyarakat Jepang memiliki satu lagi musim liburan paling sibuk selain momen perayaan tahun baru yakni Golden Week. Di Minggu Emas itu, masyarakat setempat memanfaatkan betul empat tanggal merah pada 29 April dan 3-5 Mei itu untuk bepergian. Ada yang memilih pulang kampung dan ada juga yang berlibur ke luar kota.
Namun di masa pandemi COVID-19, tradisi bepergian itu tidak mungkin dilakukan. Masyarakat diminta untuk tetap di rumah selama pemberlakuan status darurat nasional. Apalagi pemerintah setempat juga sudah mengurangi sejumlah penerbangan domestik dan perjalanan kereta yang menjadi alat transportasi favorit untuk bepergian.
4. COVID-19 memaksa pekerja Jepang meninggalkan tradisi jam kerja yang panjang
Sudah jamak diketahui, pegawai di Jepang memiliki jam kerja yang sangat panjang. Survei pemerintah setempat pada 2016 menunjukkan, sebanyak 25 persen perusahaan memberlakukan kebijakan lembur selama 80 jam per bulan. Adapun rata-rata pekerja di Jepang enggan mengambil jatah cuti tahunan selama 10 hari. Malah sebanyak 63 persen yang mengambil cuti merasa bersalah.
Akan tetapi, cerita itu kini menjadi berbeda di masa pandemi COVID-19. Kebijakan bekerja dari rumah memaksa perusahaan untuk memberlakukan jam kerja fleksibel kepada karyawannya. Produktivitas tidak lagi diukur dari lamanya jam kerja yang dihabiskan dan kehadiran pegawai secara fisik di kantor.
Baca Juga: 10 Tradisi Sambut Ramadan ini Bakal Tak Terlihat karena Corona