Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
still cut drama Korea Pro Bono
still cut drama Korea Pro Bono (youtube.com/@tvNDRAMA_official)

Intinya sih...

  • Hak atas rasa aman di dalam rumah tangga dirampas Kaya oleh kekerasan ayah mertuanya dan lingkungan yang diam

  • Hak perlindungan dari kekerasan seksual tidak diperhatikan dalam persidangan, hukum gagal mengakui trauma sebagai prioritas

  • Martabat Kaya terus terkikis di persidangan, identitasnya diperalat untuk membatalkan pernikahan dan mengancam status visanya

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kasus Kaya (Jung Hoe Rin) di episode 5–6 Pro Bono bukan sekadar konflik perceraian dalam pernikahan internasional. Lewat sosok perempuan imigran ini, drama tersebut membongkar bagaimana hukum, kekuasaan, dan stigma sosial dapat secara sistematis merampas hak asasi manusia seseorang tanpa perlu kekerasan yang selalu terlihat secara kasat mata.

Dalam persidangan yang dingin dan penuh logika hukum, Kaya perlahan kehilangan kendali atas tubuh, identitas, dan masa depannya sendiri. Lima hak asasi berikut memperlihatkan betapa rapuhnya posisi korban ketika sistem gagal berpihak pada kemanusiaan.

1. Hak atas rasa aman di dalam rumah tangga

still cut drama Korea Pro Bono (youtube.com/@tvNDRAMA_official)

Hak paling mendasar yang dirampas dari Kaya adalah hak untuk merasa aman di dalam rumahnya sendiri. Alih-alih menjadi ruang perlindungan, rumah tangga Kaya justru berubah menjadi tempat kekerasan yang dilakukan oleh ayah mertuanya, Cho Byeon Hak (Park Yoon Hee), dengan sepengetahuan lingkungan yang memilih diam.

Ketika kekerasan terjadi di balik pintu tertutup dan pelaku memiliki kekuasaan politik, rasa aman menjadi kemewahan yang tidak lagi dimiliki korban. Negara dan hukum gagal hadir tepat waktu, membiarkan Kaya hidup dalam ketakutan yang berulang dan terstruktur.

2. Hak atas perlindungan dari kekerasan seksual

still cut drama Korea Pro Bono (youtube.com/@tvNDRAMA_official)

Kaya juga kehilangan haknya untuk mendapatkan perlindungan penuh sebagai korban kekerasan seksual. Alih-alih berfokus pada tindak pelecehan yang dialaminya, persidangan justru bergeser pada pembongkaran masa lalu dan status hukum pernikahannya.

Kekerasan seksual yang dialami Kaya diperlakukan sebagai isu sekunder, seakan penderitaan tubuh dan psikologisnya tidak sepenting keabsahan dokumen. Dalam proses ini, hukum gagal mengakui trauma sebagai fakta yang layak diprioritaskan.

3. Hak atas martabat dan perlakuan manusiawi di persidangan

still cut drama Korea Pro Bono (youtube.com/@tvNDRAMA_official)

Sepanjang persidangan, martabat Kaya terus terkikis. Woo Myeong Hun (Choi Dae Hoon) tanpa ragu mengorek masa lalu kelam Kaya, penculikan, penyekapan, kehamilan paksa, hingga kelahiran anak. Bukan untuk mencari keadilan, melainkan untuk menjatuhkan kredibilitasnya sebagai korban.

Tidak ada mekanisme yang cukup kuat untuk menghentikan kekerasan verbal tersebut. Kaya diperlakukan sebagai objek pembuktian, bukan manusia yang terluka, dan ruang sidang berubah menjadi tempat legitimasi kekerasan psikologis.

4. Hak atas identitas dan pengakuan hukum yang adil

still cut drama Korea Pro Bono (youtube.com/@tvNDRAMA_official)

Sebagai imigran, identitas Kaya menjadi alat serangan utama. Haknya untuk diakui sebagai subjek hukum yang setara dirampas ketika statusnya dipelintir menjadi celah untuk membatalkan pernikahan dan menggugurkan seluruh perlindungan hukum yang ia miliki.

Alih-alih dilihat sebagai korban kekerasan, Kaya direduksi menjadi “imigran bermasalah” yang dianggap memalsukan informasi. Dalam logika hukum yang sempit, identitasnya dijadikan alasan untuk meniadakan penderitaannya.

5. Hak untuk menentukan masa depan dan tempat tinggalnya sendiri

still cut drama Korea Pro Bono (youtube.com/@tvNDRAMA_official)

Puncak perampasan hak asasi Kaya terjadi ketika pembatalan pernikahan mengancam status visanya. Hak untuk tinggal, bekerja, dan membangun hidup di Korea Selatan mendadak hilang, bukan karena kejahatan yang ia lakukan, melainkan karena kegagalannya memenangkan pertarungan hukum.

Ancaman deportasi membuat Kaya kehilangan kendali atas masa depannya sendiri. Negara yang seharusnya memberi perlindungan justru menjadi kekuatan yang dapat mencabut seluruh hak hidupnya dalam satu putusan.

Melalui kasus Kaya, Pro Bono menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi tidak selalu datang dalam bentuk kekerasan fisik semata, tetapi juga melalui prosedur hukum yang dingin dan tidak berempati. Hak atas rasa aman, martabat, dan masa depan dapat dirampas secara perlahan lewat pasal, preseden, dan logika yang mengabaikan luka manusia. Kisah ini menjadi pengingat pahit bahwa keadilan tanpa kemanusiaan hanya akan melahirkan korban baru, seperti Kaya, yang harus membayar mahal demi sistem yang tidak pernah benar-benar memihaknya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team