TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Apakah Ijazah Lebih Penting ketimbang Skill Saat Melamar Kerja?

Padahal, ada yang skill-nya lebih bagus ... #IDNTimesLife

ilustrasi bekerja (pexels.com/product school)

Bagi fresh graduates, masalah ijazah mungkin jadi hal yang seksi saat melamar pekerjaan, entah itu karena nilai yang kurang memuaskan atau belum memilikinya. 

Albert Mahendra sebagai HR officer Jakmall.com dan Karoline A Sinaga, M.Psi, Psi. sebagai HR practitioner and psychologist membantu IDN Times Community menjawab soal fenomena ini. Apakah betul ijazah lebih penting ketimbang skill saat melamar kerja?

1. Ijazah masih ada korelasinya dengan skill saat melamar kerja

ilustrasi bekerja (pexels.com/product school)

Saat ditanya apakah ijazah berkorelasi dengan skill atau tidak, Karoline mengamininya, terlebih jika itu berkaitan dengan syarat keterampilan khusus.

"Korelasinya pasti ada. Misalnya, aku dari jurusan Psikologi mau kerja di HR. Bagian yang banyak ngurusin orang dan butuh yang requirements-nya harus lulusan dari Psikologi. Berarti aku sebagai HR akan melihat 'ini orang benaran, gak, sih, dari Psikologi?'” kata dia.

2. Namun, ijazah tidak selalu jadi syarat utama. Ijazah digunakan untuk melihat apakah pelamar memang lulus dari jenjang yang tertulis di CV

ilustrasi bekerja (pexels.com/product school)

Meski masih memiliki korelasi dengan skill, Karoline menyebut jika ijazah tidak selalu menjadi syarat utama saat melamar kerja. "Mentang-mentang dia lulusan Kimia, terus gak bisa jadi HR gitu? Kan, gak gitu. Jadi, ya, disesuaikan aja," katanya.

Ia melanjutkan dengan apa yang biasanya dilihat dari ijazah. "Biasanya, sih, ijazah kalau zaman sekarang, ya, kita melihatnya lebih pada apakah yang bersangkutan memang lulus dari perguruan tinggi, college, atau sekolah tertentu gitu dan jenjang yang sesuai dengan dia tulis di CV," katanya.

Sementara itu, jurusan pendidikan tidak terlalu jadi pertimbangan jika dibandingkan dengan pengalaman. "Masalah jurusan di mana biasanya nomor sekian karena yang biasanya dijadikan hal utama lebih pada experience gitu, sih," kata dia.

3. Senada dengan Karoline, Albert menyebut jika ijazah bisa digantikan dengan hal lain. Namun, jika ada ijazah juga tentunya akan lebih baik

ilustrasi bekerja (pexels.com/product school)

Ditanya soal korelasi ijazah dengan skill, Albert menjawab, "Mungkin bukan tidak berkorelasi, namun sekarang bisa digantikan dengan hal lain, kalau menurut saya. Tapi, jika ada, tentunya akan lebih baik."

Ia pun mencontohkan hal lain yang dimaksudnya. "Contohnya, sekarang banyak sekali bootcamp atau sekolah coding. Tentunya, mereka tidak akan memiliki ijazah yang diakui oleh beberapa instansi pendidikan. Tapi, mereka bisa coding dan kualitasnya belum tentu lebih jelek dari orang-orang yang kuliah dan memiliki ijazah," paparnya.

4. Ijazah berperan dalam meyakinkan perekrut. Jika tidak ada, portofolio adalah kekuatan pelamar untuk menunjukkan keahliannya

ilustrasi bekerja (pexels.com/product school)

Sampai di titik ini, baik Karoline dan Albert, mereka sepakat jika ijazah bukan satu-satunya jaminan diterima bekerja di sebuah perusahaan. Bahkan, portofolio bisa menjadi kekuatan pelamar jika dirasa lemah dalam hal ijazah.

"Dengan adanya ijazah, akan meyakinkan recruiter untuk bisa menerima kandidat. Akan tetapi, jika tidak ada ijazah dan memang benar-benar ahli dalam bidang tersebut, keberadaan ijazah bisa digantikan dengan portofolio yang bisa menunjukkan skill dan hasil karya. Jika ada portofolio dan ijazah, tentunya akan lebih baik lagi," sebut Albert.

Intinya adalah kamu harus mampu meyakinkan recruiter jika mampu, salah satunya dengan portofolio yang apik. "Seharusnya, melihat kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten, ijazah bukan faktor utama atau syarat untuk kandidat bisa diterima kerja di sebuah perusahaan," tambah dia.

5. Jika IPK tidak sesuai dengan persyaratan, kita pun bisa menyampaikan alasan rasional

ilustrasi cari lowongan kerja (Pexels.com/Anna Shvets)

Ketika punya ijazah dan nilaimu tidak terlalu memuaskan, kamu tidak perlu berkecil hati. Kamu masih bisa menyampaikan alasan atau pendapat rasionalmu soal itu.

"Pada saat kita interview, lalu ditanya 'IPK-nya berapa?' Misalkan kamu IPK-nya di bawah 3, terus yang dicari IPK-nya 3 ke atas, terus kamu bilang 'oh, saya IPK-nya 2,9 atau 2,7 karena waktu itu begini begini'. Maksudnya, kalau memang kalian bisa memberikan judgment yang baik dan rasional, biasanya nilai di ijazah itu tidak selalu jadi patokan, kok!" tutur Karoline.

Verified Writer

Febriyanti Revitasari

I believe the grass is no more greener on the other side

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya