Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bekerja saat puasa (pexels.com/Edmond Dantès)
ilustrasi bekerja saat puasa (pexels.com/Edmond Dantès)

Intinya sih...

  • Perempuan harus terlihat sempurna untuk dianggap kompeten

  • Job desk sama, tapi ekspektasi lebih besar untuk perempuan

  • Komentar seksis yang dibungkus candaan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kantor biasanya digambarkan sebagai tempat yang netral dan profesional. Tempat di mana semua orang punya kesempatan yang sama untuk berkembang. Namun kenyataannya, banyak hal yang terjadi di dunia kerja masih menyisakan jejak sistem patriarki, meski wujudnya gak selalu terang-terangan. Patriarki terselubung ini bersembunyi di balik budaya kerja, candaan sehari-hari, dan bahkan aturan tak tertulis yang sudah dianggap wajar.

Bentuknya gak selalu sesederhana laki-laki yang mendominasi posisi pimpinan atau pengambilan keputusan. Kadang, ketimpangan gender itu muncul lewat hal-hal kecil yang bikin perempuan merasa harus kerja dua kali lebih keras, lebih hati-hati, dan lebih tahan banting hanya untuk mendapat pengakuan yang sama. Berikut lima bentuk patriarki terselubung dalam dunia kerja.

1. Perempuan harus terlihat sempurna untuk dianggap kompeten

ilustrasi bekerja (pexels.com/Yan Krukau)

Dalam banyak kasus, perempuan dituntut untuk tampil sempurna, baik secara penampilan maupun sikap, kalau ingin dianggap layak. Sementara rekan laki-laki bisa tampil sesantai mungkin tanpa mempertaruhkan kredibilitas. Perempuan justru sering dinilai dari cara berpakaian, cara bicara, bahkan nada suaranya saat rapat.

Hal ini bikin kamu mungkin merasa harus selalu "terkontrol", takut dibilang terlalu emosional, terlalu bossy, atau terlalu kaku. Padahal kompetensi gak ada hubungannya dengan riasan wajah atau tinggi nada suara. Beban ganda seperti ini bisa melelahkan dan bikin perempuan susah berkembang karena terus merasa diawasi dari aspek-aspek yang gak relevan dengan performa kerja.

2. Job desk sama, tapi ekspektasi lebih besar untuk perempuan

ilustrasi rekan kerja (pexels.com/ fauxels)

Kamu mungkin pernah merasakan situasi di mana tugas dan tanggung jawab kamu secara formal sama dengan rekan laki-laki. Namun, dalam praktiknya kamu dibebani lebih banyak tugas tambahan. Mulai dari jadi notulen rapat otomatis karena dianggap “lebih rapi”, sampai dituntut lebih peduli dengan dinamika tim hanya karena kamu perempuan.

Ekspektasi semacam ini memang gak tertulis, tapi sering banget terjadi. Perempuan dianggap harus lebih telaten, lebih ramah, dan lebih bisa menjaga perasaan semua orang di kantor. Tanpa disadari, ini membebani secara emosional dan bikin jam kerja terasa jauh lebih panjang secara mental.

3. Komentar seksis yang dibungkus candaan

ilustrasi rekan kerja (pexels.com/Richelieu)

Salah satu bentuk patriarki terselubung yang paling sering ditemui di kantor adalah komentar seksis yang dibungkus dengan “candaan”. Misalnya, “Perempuan cocoknya jadi HR aja, jangan di lapangan,” atau “Pasti naik jabatan karena deket sama bos.” Kata-kata seperti ini sering diucapkan sambil tertawa, seolah-olah bercanda.

Namun, dampaknya bisa sangat merusak rasa percaya diri dan profesionalitas seseorang. Candaan yang meremehkan peran perempuan di dunia kerja sering dianggap biasa, padahal ini salah satu cara paling halus patriarki mempertahankan dominasinya. Kalau kamu mengkritik, kamu malah bisa dibilang “baper”.

4. Minimnya representasi perempuan di level kepemimpinan

ilustrasi bekerja (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Coba lihat sekeliling, berapa banyak posisi strategis yang dipegang oleh perempuan di tempat kamu bekerja? Meski jumlah pekerja perempuan terus bertambah, posisi pimpinan seperti manajer senior, direktur, atau dewan eksekutif masih didominasi laki-laki. Ini bukan cuma soal angka, tapi juga soal pengaruh.

Minimnya representasi ini menciptakan sistem yang melanggengkan norma maskulin sebagai standar ideal. Akibatnya, perempuan sering merasa harus menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan laki-laki agar bisa diterima. Padahal keberagaman gaya kerja dan kepemimpinan justru penting buat menciptakan lingkungan yang sehat dan inovatif, lho!

5. Perempuan dianggap kurang serius karena alasan tertentu

ilustrasi rekan kerja (pexels.com/Sora Shimazaki)

Satu hal yang juga masih sering jadi isu sensitif adalah anggapan bahwa perempuan yang ingin menikah atau punya anak otomatis akan “mengorbankan karier”. Ini membuat perempuan yang ambisius dianggap egois, sementara yang memilih fokus ke keluarga dianggap tak cukup berdedikasi. Apa pun pilihan yang diambil, selalu ada stigma.

Kondisi ini gak hanya menyulitkan perempuan secara individu, tapi juga menciptakan sistem kerja yang gak adil sejak awal. Padahal, keseriusan dan komitmen seseorang terhadap pekerjaan gak bisa diukur dari status pernikahan atau jumlah anak saja. Dunia kerja seharusnya memberi ruang untuk semua orang, tanpa harus mengorbankan bagian penting lain dari hidup mereka.

Bentuk patriarki terselubung dalam dunia kerja gak selalu terlihat jelas. Sering kali malah berupa kebiasaan, asumsi, dan budaya kerja yang selama ini dianggap “biasa saja”. Dengan mengenali lima bentuk patriarki terselubung di atas, kamu jadi bisa lebih waspada, lebih vokal, dan lebih berani untuk menyuarakan ketidakadilan yang kamu alami.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team