infografis fenomena job hopping untuk Millennials dan GenZ (IDN Times/Aditya Pratama)
Dari kacamata seorang recruiter, Sarra bersikap netral dengan fenomena ini. Selama masa bekerjanya, perempuan asal Tangerang ini mengatakan bahwa ia pernah mempekerjakan seorang job hopper.
“Mostly dari tech company sih. Karena kebanyakan project based. Kalau misalnya project udah selesai, mereka gak ngapa-ngapain ya mereka keluar. Mereka cari project lagi. Supaya mereka gak kosong,” tuturnya.
Sebagai seseorang yang pernah ‘loncat’ karier ke industri yang berbeda, responden berinisial K juga mengaku netral dengan konsep job hopping. Perempuan yang bekerja sebagai UX Writer ini mengaku gak ingin melewatkan kesempatan yang datang.
Ia mengatakan, “Tergantung, sih. Soalnya zaman sekarang, apalagi di dunia teknologi atau digital, orang pindah-pindah kerja itu karena lebih dulu dapat tawaran. Kalau ada yang lebih baik, kenapa gak?”
Respons positif datang dari beberapa responden, seperti ES seorang karyawan kontrak dari Riau. Pria berusia 20 tahunan ini mengatakan bahwa job hopping sangat bagus untuk memperoleh banyak pengalaman dan mengasah kemampuan adaptasi seseorang.
Pendapat serupa disampaikan oleh responden berinisial AAD. Pria berdomisili DKI Jakarta ini menuturkan bahwa job hopping gak selalu berkaitan dengan stigma yang ada selama ini.
Lebih lanjutnya, AAD bilang, “Para generasi muda melakukan hal tersebut tentunya didasari dengan alasan yang terencana. Harus siap dengan keuntungan dan kerugian yang didapatkan. Mereka yang sering berpindah tempat kerja mungkin juga punya kebutuhan untuk aktualisasi diri”.
Hasil survei yang kami lakukan mengungkap bahwa ada banyak perbedaan pendapat soal fenomena job hopping. Beberapa mengatakan setuju, tapi ada juga yang kurang sreg dengan konsep ini.
Kami menanyakan pendapat responden terhadap konsep ini dengan skala likert. Skala 1 menunjukkan respons sangat tidak setuju, 2 tidak setuju, 3 ragu-ragu, 4 setuju, dan 5 sangat setuju. Dari skala likert 1-5, kebanyakan responden beropini bahwa pindah tempat kerja bukanlah masalah besar asalkan tidak merugikan perusahaan (4,1). Selain itu, mereka juga pro dengan konsep job hopping selama itu menjadi hal positif bagi proses pengembangan diri seseorang (4,1).
Masih dalam skala likert 1 hingga 5, beberapa responden punya perspektif bahwa pindah tempat kerja bisa menunjukkan kurangnya kadar loyalitas pegawai terhadap perusahaannya (2,46). Beberapa responden mengutarakan opini kontra mereka terhadap konsep job hopping.
Salah satunya responden dengan inisial Y yang belum pernah pindah pekerjaan. Menurutnya, ada kerugian yang akan terjadi bila terlalu sering melakukan job hopping.
“Yang pertama jenjang karier yang dipunya akan stagnan, harus adaptasi sebagai karyawan baru. Lalu, yang kedua, menjadi penilaian bahwa orang tersebut tidak dapat konsisten dalam pekerjaan,” pungkas Y.
Opini lain disampaikan responden berinisial VE yang saat ini berprofesi sebagai jurnalis ekonomi di salah satu media massa. Dalam perjalanan kariernya, ia telah berpindah pekerjaan sebanyak tiga kali. Namun, ia menyatakan ketidaksetujuan dengan konsep ini.
“Sebenernya gak bagus sih. Karena masa kerja 1-3 tahun tuh masih beneran baru banget dan masih banyak ilmu yang harus digali,” tambah VE.
Walau mengaku kurang menyukai konsep job hopping, JG menuturkan ada beberapa pengecualian. Yaitu, ketika lingkungan kerja toxic, hak pegawai tidak terpenuhi, dan tidak adanya jenjang karier.
Namun, pria dengan posisi karier sebagai staf ini juga bilang, “Pengalaman dapat membentuk skill dan karakter yang dibutuhkan. Dalam beberapa karier juga dibutuhkan waktu untuk mencapai titik paling efektif dalam bekerja”.