Peran HRD sering disangka sebatas administratif, padahal pekerjaan ini menyentuh aspek personal dan emosional karyawan. Dalam rutinitas, seorang HRD kerap menjadi tempat orang untuk bercerita tentang karier, konflik, bahkan beban hidup. Interaksi berulang itulah yang memaksa HRD mengembangkan kepekaan emosional dan respons manusiawi.
Selain aturan dan proses, HRD harus menyeimbangkan kepentingan organisasi dan kesejahteraan individu. Dengan sering terlibat pada situasi sulit, seorang HRD belajar memahami konteks di balik perilaku dan keputusan orang lain. Berikut lima jobdesk HRD yang paling intens membentuk empati mendalam.
5 Jobdesk HRD yang Bisa Membentuk Rasa Empati Mendalam

Intinya sih...
Proses rekrutmen dan seleksi memaksa HRD mengembangkan empati melalui mendengar cerita perjuangan kandidat dan menilai kecocokan budaya.
Menangani keluhan karyawan melibatkan pendengaran tanpa menghakimi, merancang solusi praktis, dan menimbang kebijakan perusahaan secara adil.
Memberikan konseling dan pendampingan mengajarkan HRD untuk mendeteksi tanda stres, memberi dukungan berkelanjutan, dan memperkuat rasa empati.
1. Proses rekrutmen dan seleksi
Proses rekrutmen mempertemukan HRD dengan kandidat dari berbagai usia, latar belakang, dan pengalaman hidup. Dari hal itu, seorang HRD belajar menempatkan diri pada posisi kandidat dan membaca motivasi di balik kata-kata mereka. Pengalaman mendengar cerita perjuangan membuat HRD lebih peka terhadap kebutuhan orang lain.
Selain menilai kompetensi, HRD sering mempertimbangkan akomodasi, jalur karier, dan kecocokan budaya yang manusiawi. HRD juga ditantang mengenali bias pribadi agar bisa memberi peluang yang adil. Keputusan rekrutmen yang berorientasi pada konteks tentu dapat menumbuhkan empati.
2. Menangani keluhan karyawan
Ketika karyawan mengadukan masalah, HRD harus mendengar tanpa menghakimi dan bisa menjaga kerahasiaan. Menjadi HRD perlu mempelajari teknik bertanya secara terbuka, parafrase, dan validasi emosi. Respons yang suportif akan membantu meredakan ketegangan dan mmebangun kepercayaan.
Selanjutnya, HRD merancang solusi praktis seperti mediasi, penyesuaian beban kerja, atau rujukan profesional. Dari hal itu, HRD bisa belajar menimbang kebijakan perusahaan agar penyelesaian bersifat adil dan manusiawi. Pengalaman menangani keluhan membuat HRD peka terhadap tanda stres dan dinamika antar pribadi.
3. Memberikan konseling dan pendampingan
Dalam peran pendampingan, HRD memberi konseling awal dan merujuk ke layanan profesional bila diperlukan. HRD bisa menggunakan teknik dasar konseling untuk membantu karyawan memetakan masalah dan melihat opsi tindakan. Interaksi berulang mengajarkannya untuk mendeteksi tanda burnout yang tidak selalu tampak.
Pendampingan juga melibatkan tindak lanjut nyata, seperti pengaturan cuti atau penyesuaian jam kerja. HRD bisa melihat bagaimana dukungan berkelanjutan membantu pemulihan dan produktivitas kembali meningkat. Pengalaman itu dapat memperkuat rasa empati karena terlibat dalam proses secara langsung.
4. Menyusun program pengembangan karyawan
Menyusun program pengembangan dimulai dari mendengar aspirasi, gap keterampilan, dan hambatan yang dialami karyawan. Seorang HRD bisa memakai survei, wawancara karier, dan data kinerja untuk merancang pelatihan yang relevan. Proses itu menuntutnya untuk memahami tujuan jangka panjang setiap individu.
Implementasi mentoring, pelatihan terarah, dan peluang rotasi menunjukkan perhatian nyata pada pertumbuhan pribadi karyawan. HRD akan memantau hasil dan menyesuaikan program agar efektif bagi mereka. Melihat perkembangan karyawan memberi kepuasan dan dapat menguatkan empati.
5. Mengelola pemutusan hubungan kerja
Mengelola PHK adalah momen berat yang menuntut empati tinggi dari HRD. Seorang HRD harus menyampaikan keputusan dengan jelas untuk menyediakan informasi tentang hak, kompensasi, serta opsi dukungan. Cara penyampaian yang manusiawi membantu menjaga martabat karyawan yang terdampak.
Proses keluar juga mencakup exit interview, outplacement, dan follow up. HRD bisa menyimak umpan balik untuk memahami dampak keputusan pada kehidupan pribadi seseorang. Pengalaman berulang menghadapi situasi itu tentu dapat mengasah empati dalam diri.
Secara keseluruhan, jobdesk HRD menempatkannya pada garis depan masalah kemanusiaan di organisasi. Rutinitas mendengar, menanggapi, dan menindaklanjuti kasus karyawan membentuk kepekaan emosional. Empati yang terbentuk bukan sekadar perasaan, melainkan kompetensi kerja yang meningkatkan hubungan dan hasil perusahaan.