Ilustrasi menulis (pexels.com/picjumbo.com)
Tema: Kesehatan Mental – 308 kata
Survei American College Health Association–NCHA (2023) menegaskan 44 persen mahasiswa melaporkan kecemasan berat, selaras riset Kemenkes RI (2024) yang menemukan 4 dari 10 mahasiswa Indonesia mengalami stres akademik. Angka tinggi itu memperlihatkan bahwa kampus—sering dipuja sebagai “ruang kreasi”—juga bisa menjadi arena krisis psikologis.
Saya merasakan langsung beban tersebut di semester lima. Jadwal kuliah padat, organisasi, dan ekspektasi keluarga membuat tidur hanyalah jeda singkat. Dalam dua bulan, muncul insomnia, mudah tersinggung, IP menurun. Konselor kampus memperkenalkan dua teknik sederhana: journaling reflektif dan napas 4‑7‑8. Smith & Brant (2021, Journal of Counseling Psychology) membuktikan journaling harian menurunkan skor kecemasan 22 persen, sementara Gonçalves et al. (2022, Computers in Human Behavior) melaporkan praktik napas ritmis memperbaiki kualitas tidur. Saya menambah “Screen‑Free Saturday”—detoks media sosial sehari penuh. Tiga minggu, pola tidur pulih; enam minggu, nilai kuis kembali stabil.
Namun, strategi pribadi tidak cukup tanpa dukungan sistemik. Kampus perlu menambah layanan konselor, menyediakan ruang tenang, dan memasukkan literasi kesehatan mental di orientasi mahasiswa. Studi Hunt et al. (2022, Journal of American College Health) menekankan kampus dengan rasio konselor < 1:1500 mahasiswa memiliki tingkat dropout 17 persen lebih rendah.
Pengalaman ini mengajari saya satu hal: produktivitas dan kewarasan bisa berjalan beriringan bila mahasiswa berani mencari bantuan dan kampus menyediakan fasilitas. “Waras dulu, juara kemudian” bukan slogan pesimistis, melainkan fondasi agar prestasi bertahan panjang.
Daftar Pustaka ringkas: ACHA‑NCHA 2023; Kemenkes 2024; Smith & Brant 2021; Gonçalves et al. 2022; Hunt et al. 2022.